Ketika Singapura “Lockdown” Freelancer Asing
Akhirnya, Ministry of Manpower (MOM) Singapore dan VICPA (Visual, Audio, Creative Content Professionals Association) ngeluarin advisory baru: perusahaan-perusahaan dilarang memakai freelancer asing yang visa-nya bukan kerja (misalnya turis atau pelajar) untuk menangani klien di Singapura—termasuk fotografi, videografi, make-up, dan sektor kreatif lainnya.
Kalau melanggar: denda bisa sampai S$20.000, hukuman penjara hingga dua tahun, atau keduanya.
Apa Artinya Buat Freelancer Kreatif & Industri Kreatif di Indonesia?
Kompetisi yang Semakin Ketat di Level Regional
Untuk pekerja kreatif Indonesia, ini jadi sinyal bahwa pasar regional (Singapore & negara tetangga) makin memperketat regulasi. Freelancer yang biasa mengandalkan klien luar negeri atau event internasional harus mulai memperhitungkan izin kerja, status legal, dan branding profesional agar nggak tersisih.
Peningkatan Profesionalisme = Kewajiban, Bukan Pilihan
Kalau sebelumnya bisa kerja freelance di luar negeri dengan risiko kecil, sekarang klien di negara seperti Singapore akan lebih waspada dalam mempekerjakan freelancer asing. Mereka harus pastikan izin kerja/perijinan legal sudah lengkap.
Artinya, kalau kamu adalah freelancer Indonesia yang menarget klien internasional atau event lintas negara, harus siap:
Dokumentasi legal (visa kerja, kontrak resmi)
Standarisasi harga dan kualitas
Transparansi dari sisi pajak dan regulasi
Risiko Eksklusi & Perlu Strategi Legal
Tapi nggak semua akan mudah:
Freelancer dari negara asing yang tidak punya akses ke visa kerja akan terbatas peluangnya.
Ada plus minus biaya untuk mengurus izin & legalitas, yang mungkin memberatkan individu/UKM kecil.
Klien luar negeri mungkin harus berpikir dua kali jika harus menanggung beban administratif.
Freelancer Indonesia perlu proaktif: cari informasi soal kontrak internasional, izin kerja cross-border, bahkan partner lokal di negara target agar skema kerjanya legal.
Apakah Indonesia Perlu Melakukan Hal yang Sama?
Kalau Singapura bisa tegas melindungi pekerja kreatif lokalnya, Indonesia sebenernya juga bisa mempertimbangkan hal serupa. Pasalnya, kita sering lihat freelancer asing—mulai dari videografer, fotografer, sampai DJ—masuk ke Indonesia dengan visa turis, terus ambil proyek tanpa izin kerja resmi.
Masalahnya:
Persaingan tarif jadi nggak sehat: freelancer asing kadang bisa ambil job dengan rate tinggi, sementara pekerja lokal nggak dapat akses yang sama ke luar negeri.
Potensi kehilangan pajak & devisa: income yang didapat nggak tercatat di sistem Indonesia.
Ketimpangan akses: orang asing bebas ambil proyek di sini, tapi orang Indonesia sering kesulitan akses legal untuk kerja di luar.
Kalau Indonesia mau melindungi talenta kreatif lokal, ada beberapa langkah yang bisa dipikirkan:
Izin kerja wajib untuk freelancer asing → pastikan yang kerja di Indonesia punya dokumen legal & bayar pajak.
Quota & proteksi proyek lokal → pekerjaan tertentu, terutama yang bisa dikerjakan talenta lokal, sebaiknya diprioritaskan untuk pekerja Indonesia.
Kolaborasi wajib → freelancer asing yang masuk bisa diwajibkan kolaborasi atau transfer knowledge dengan komunitas kreatif lokal, biar ada timbal balik.
Dengan cara ini, regulasi bukan sekadar “membatasi”, tapi memperkuat ekosistem kreatif Indonesia dan memastikan kesempatan kerja adil buat pelaku lokal.
Larangan Singapura ini bukan cuma soal pembatasan, ia juga jadi pengingat bahwa ekosistem kreatif internasional makin mengharuskan legitimasi (legal, administratif, profesionalisme). Freelancer tidak bisa cuma andalkan skill & estetika; sistem pendukung, izin, dokumentasi & identitas profesional mulai jadi bagian tak terpisahkan.
Untuk pekerja kreatif Indonesia, ini bukan alarm panik, tapi kesempatan. Peluang muncul bagi mereka yang bisa siap: punya portfolio, legalitas, branding, dan mindset bahwa pasar global itu bukan cuma soal “bisa kerja dari luar negeri”, tapi bagaimana bermain di lapangan internasional dengan aturan main yang jelas.