Dari UMKM Lokal ke Pasar Global, Saatnya Desain Indonesia Punya Narasi Kolektif
Di FIND – Design Fair Asia 2025 (11–13 September, Marina Bay Sands, Singapura), Indonesia Pavilion kembali hadir untuk ketiga kalinya. Dengan booth 80 m², sekilas ini mungkin terlihat seperti pameran biasa. Tapi kalau dibaca lebih dalam, Pavilion ini sebenarnya adalah tes litmus: seberapa siap ekosistem desain Indonesia bersaing di level global?
Embracing the Earth Society = Positioning Baru
Tema tahun ini, “Embracing the Earth Society”, bukan cuma slogan hijau-hijauan. Ini positioning: Indonesia mencoba muncul di radar global bukan hanya sebagai “produsen murah”, tapi sebagai negara yang punya visi desain sadar lingkungan + kuat akar budaya.
Kalau biasanya sustainability jadi jargon, paviliun ini mencoba membuktikan dengan kurasi produk: dari material inovatif kayak Altarize & Aluveen, sampai craft-driven UMKM seperti Inchi Living atau Keboen Keyang.
Insightnya: desain Indonesia mulai shifting dari sekadar heritage-display ke arah conscious-lifestyle brand.
UMKM di Panggung Global: Strategi atau Uji Coba?
Yang menarik, Pavilion nggak cuma bawa brand besar kayak TACO, tapi juga UMKM binaan DPPKUKM. Artinya ada niat politik kebijakan: menjadikan Pavilion ini sebagai showcase “UMKM bisa naik kelas”.
Tapi di sini ada PR besar:
Siap supply chain? Global buyer nggak cuma liat estetika, tapi juga kapasitas produksi & konsistensi kualitas.
Branding siap global? Banyak UMKM masih narasinya lokal. Pavilion bisa jadi crash course: apa yang perlu di-upgrade agar relevan di pasar internasional.
Jadi Pavilion ini bisa dibaca sebagai laboratorium globalisasi UMKM—apakah mereka siap transformasi jadi brand dengan standar internasional?
Dari Desain ke Kuliner: Lifestyle Sebagai Narasi
Menariknya, Indonesia Pavilion juga melibatkan Dewan Kuliner Indonesia untuk mengkurasi lini F&B: Pipiltin Cocoa, Havilla Tea, Onuka Chocolate, Talasi.
Kenapa penting? Karena kuliner = bagian dari desain lifestyle. Di panggung global, desain produk & desain rasa bisa berjalan bareng: furniture dan dekorasi bicara soal ruang hidup, sementara cokelat, teh, dan kopi bicara soal pengalaman indera.
Inilah strategi “narasi kolektif” di mana Indonesia nggak lagi jualan satu kategori, tapi gaya hidup yang terintegrasi.
Dari Produk ke Narasi Kolektif
Kalau dilihat lineup-nya, Indonesia Pavilion 2025 bukan sekadar kumpulan produk bagus. Ia membentuk narasi kolektif: Indonesia = desain yang rooted, sustainable, dan community-driven.
Di tengah tren global yang lagi jenuh sama “mass luxury,” positioning ini justru unik. Buyer internasional cari authenticity, material story, dan craft sensibility—hal yang Indonesia punya melimpah.
Kalau narasinya konsisten, ini bisa jadi soft power strategis. Bayangin, Indonesia dikenal bukan cuma lewat batik atau kuliner, tapi juga sebagai creative hub yang melahirkan conscious brands.
Lebih Dari Sekadar Pameran: Momentum yang Harus Dijaga
Networking session & talkshow yang digelar Pavilion mungkin terlihat kecil, tapi sebenarnya inilah yang menentukan masa depan: apakah Indonesia bisa bikin follow-up konkret setelah lampu pameran padam?
Kalau momentumnya dijaga, Pavilion bisa jadi lebih dari sekadar acara tahunan. Ia bisa berfungsi sebagai:
Platform edukasi buat UMKM biar ngerti standar global.
Hub kolaborasi antara brand, artisan, desainer, dan pemerintah.
Branding kolektif: Indonesia = conscious design nation.
Refleksi: Dari Booth ke Brand Nation
Indonesia Pavilion di FIND 2025 membuktikan satu hal: kita nggak kekurangan talenta & produk. Yang dibutuhkan sekarang adalah strategi narasi dan konsistensi ekosistem.
Karena dunia nggak lagi cuma beli kursi atau dekorasi. Mereka beli cerita, beli visi, beli positioning. Dan kalau Indonesia berhasil menjual narasi kolektif ini, maka 80 m² booth di Marina Bay Sands bisa jadi pintu menuju brand nation yang baru: Indonesia sebagai kekuatan desain Asia.
Jadi, pertanyaannya: setelah spotlight ini, apakah kita siap mengawal UMKM, brand, dan bahkan kuliner lokal agar nggak berhenti di “sekali tampil”, tapi benar-benar tumbuh jadi pemain global?