Pelajaran dari Skandal Bake & Grind
Bake & Grind, sebuah bakery online di Jakarta, viral karena tuduhan serius: mereka mengklaim produknya gluten free, dairy free, sugar free, dan vegan. Tapi faktanya, mereka hanya mengemas ulang (repack) roti dari toko lain dan menjualnya dengan label sehat.
Konsumen yang punya alergi hingga penderita eksim jadi korban nyata. Seorang ibu bernama Felicia Elizabeth membagikan kisahnya di Instagram. Ia yang sudah berlangganan sejak September 2024, baru menyadari kejanggalan setelah anaknya yang berusia 17 bulan mengalami ruam dan bengkak parah di seluruh tubuh akibat alergi.
Pemilik bakery, Felicia Novenna, dituding menghapus jejak digital: akun Bake & Grind hilang, akun pribadi digembok, dan operasional bakery dinonaktifkan sementara.
Kenapa Kasus Ini Bahaya, Lebih dari Sekadar “Penipuan Label”
Risiko Kesehatan Nyata
Untuk orang yang punya celiac disease, alergi gluten, atau sensitif susu, roti “sehat” yang sebenarnya tidak aman bisa memicu reaksi fisik serius (ruam, pembengkakan, gangguan pencernaan). Bake & Grind bahkan dituding menyebabkan flare-up pada anak balita karena klaim palsu.
Pengkhianatan Kepercayaan Konsumen
Konsumen memilih produk sehat karena berharap bahwa klaimnya bisa dipertanggungjawabkan. Ketika klaim itu dibongkar palsu, kepercayaan terhadap label “organik”, “vegan”, “gluten-free” jadi rentan rusak secara kolektif.
Efek Amplifikasi di Era Media Sosial
Klaim palsu ini bisa viral dalam hitungan jam. Bake & Grind harus menghadapi tekanan publik serta risiko reputasi permanen apalagi jika pemilik menghapus jejak digital atau menghindar dari klarifikasi.
Kesenjangan Regulasi & Pengawasan
Kasus ini memanggil BPOM & lembaga pengawas pangan untuk bertindak. Label “bebas alergen” harus bisa divalidasi lewat sertifikasi, uji laboratorium, dan audit independen. Beberapa pihak sudah mendesak agar klaim serupa diperiksa ulang.
Apa Pelajaran Bagi Pelaku Industri Makanan & Konsumen Kreatif?
Bagi Pembuat Produk Makanan / Bakery
Jangan main-main dengan klaim: jika menyebut “gluten-free / dairy-free / vegan”, harus punya bukti, sertifikat, dan rantai produksi yang transparan.
Bangun sistem traceability: dari bahan baku sampai pengemasan, semua harus tercatat agar bisa diaudit publik.
Konsumen bukan bodoh: mereka bisa cari bukti (uji lab, testimoni, visual produk). Produk sehat “terlalu sempurna” justru cepat dicurigai.
Transparansi & komunikasi krisis: ketika keluhan muncul, tanggapi secara terbuka & akui jika ada kesalahan. Menghapus jejak digital = sinyal negatif besar.
Bagi Konsumen & Publik
Jangan beli berdasarkan klaim semata, minta sertifikat atau bukti uji lab.
Cek konsistensi visual: roti/cake gluten-free biasanya tidak se-“fluffy dan lembut” roti biasa. Kalau tampak identik, wajar dicurigai. (Seorang netizen menulis bahwa roti Bake & Grind terasa “terlalu fluff” untuk produk GF)
Gunakan suara publik & media: kasus ini baru terungkap karena konsumen dan influencer aktif berbicara. Partisipasi publik penting dalam pengawasan konsumen.
Kasus Bake & Grind adalah sinyal bahwa ekosistem makanan sehat masih rentan terhadap eksploitasi label “sehat” atau “diet khusus.” Tren makanan sehat atau clean eating makin populer, dan sebagian pelaku bisa tergoda melakukan short cut untuk meraup margin lebih.
Tapi kalau industri mulai tumbuh di atas fondasi klaim tidak valid, kepercayaan kolektif bisa runtuh. Konsumen mulai curiga terhadap label sehat, dan pelaku jujur yang patuh regulasi bisa tersingkir oleh pesaing “label palsu” yang punya margin besar.
Artinya, industri kreatif termasuk brand, marketing, label makanan, media, harus bersama-sama menuntut integritas klaim, audit reguler, dan edukasi konsumen. Kalau tidak, “tren sehat” bisa berubah jadi jebakan reputasi dan risiko hukum.