Punya Banyak Buku Tapi Nggak Pernah Selesai? Mungkin Kamu Kena Tsundoku
Kata tsundoku (積ん読) berasal dari Jepang: gabungan tsunde-oku (menumpuk lalu dibiarkan) dan dokusho (membaca). Intinya: beli buku dengan niat membaca, lalu biarkan mereka menumpuk tanpa sempat dibaca. Menurut Cambridge Dictionary, tsundoku adalah “practice of buying a lot of books and keeping them in a pile because you intend to read them but have not done so yet.”
Jadi, bukan koleksi buku mahal atau obsesi hoarder, tapi lebih ke kebiasaan “bercita-cita membaca semua, tapi waktu nggak cukup”.
Kenapa Tsundoku Bisa Menjadi “Kebiasaan” di Zaman Kita?
Hype dan Impulsif di Era Digital
Instagram, BookTok, dan rekomendasi algoritmik bikin kita terus tergoda beli buku. Judul baru meluncur, diskon menarik, influencer merekomendasi: semuanya teriak “beli aku!”. Kita akhirnya “kasih izin” pada diri sendiri karena buku dipercaya jadi investasi ilmu.
Waktu + Fokus = Sumber Daya Langka
Antara kerja, media sosial, tugas kreatif, dan rutinitas, banyak buku yang “secara teori wajib dibaca” akhirnya masuk “daftar panjang” alias “to be read” selamanya. Tsundoku tumbuh karena kita ingin banyak, tapi kemampuan terbatas.
Samudra Pengetahuan vs Ego Intelektual
Salah satu perspektif menarik: konsep anti-library dari Nassim Taleb. Koleksi buku yang belum dibaca itu punya nilai. Semakin banyak buku belum dibaca, semakin banyak potensi untuk belajar. Jadi tumpukan itu bisa jadi pengingat kerendahan hati: kita sadar betapa banyak yang belum kita tahu.
Bahaya & Kekuatan di Balik Tumpukan
Minusnya:
Bisa memicu rasa bersalah: “kok banyak buku, tapi sedikit yang selesai dibaca.”
Ruang fisik & mental menjadi penuh. Tumpukan buku bisa bikin stres atau “kotor visual”.
Risikonya di zaman klaim sehat/efisiensi tinggi: kita bisa jadi menyesal membeli.
Plus-nya (kalau dikelola):
Pengingat akan potensi ide dan sudut pandang yang belum dijamah.
Bisa jadi lab kreatif: sering buka buku lama, menemukan kutipan yang relevan sekarang.
Membentuk habit “mendekap ketidaktahuan” sebagai motivasi.
Cara Damai dengan Tsundoku
Set prioritas ”keluar dari tumpukan.” Tarik satu buku yang paling relevan sekarang, baca sedikit demi sedikit.
Catat tumpukan buku itu. Kadang melihat daftar jadi pengingat: ini bukan sampah, tapi potensi yang menunggu.
Gunakan teknik baca fleksibel. Bukan harus baca dari halaman 1; boleh lompat, ambil bab yang menarik dulu.
Jual / barter buku yang memang nggak jadi minat utama. Biarkan ruang untuk buku baru yang benar-benar kamu ingin baca.
Nikmati ritualnya. Ambil foto rak buku, posting quote dari buku belum dibaca, buat “waiting to be read” corner di kamar. Jadikan tsundoku sebagai bagian identitas kreatif, bukan beban.
Tsundoku mengajarkan satu hal: idealnya kita bukan pengejar buku terbanyak, tapi pengelola rasa ingin tahu terbesar. Tumpukan buku itu diam tapi tidak mati. Ia menunggu untuk dibuka, dibaca, dan diperbincangkan. Dan mungkin di situ letak keindahan “tidak selesai”, karena membaca adalah sebuah dialog yang nggak pernah benar-benar usai.