Setelah Blok M, Di Mana Hotspot Budaya Jakarta Selanjutnya?

Blok M pernah jadi jawaban bagi generasi kreatif Jakarta yang haus akan ruang. Mulai dari restoran dan kafe independen, bar-bar kecil, toko-toko vinyl dan buku tua, sampai acara komunitas yang tak terhitung jumlahnya—semua tumbuh dari satu hal: aksesibilitas dan ekosistem yang saling dukung. Tapi seperti halnya kawasan kreatif lainnya, dinamika kota terus bergerak. Ketika satu ruang sudah terbentuk dengan identitasnya sendiri, akan selalu muncul pertanyaan: ke mana arah pergerakan selanjutnya?

Prediksi kami: Glodok.

Bukan nama baru, tapi justru karena tuanya, Glodok menyimpan kemungkinan baru. Kawasan pecinan tertua di Jakarta ini sedang berada di titik belok, di mana sejarah dan energi baru mulai berdialog. Dan yang paling menentukan? Infrastruktur.

MRT fase 2A yang dijadwalkan rampung pada 2027 akan menghubungkan Bundaran HI hingga Kota, dengan Glodok sebagai salah satu pemberhentian utamanya. Selama ini, Glodok memang sudah dapat dijangkau lewat Transjakarta dan moda transportasi lain, tapi kehadiran MRT akan menambah dimensi baru: kecepatan, kenyamanan, dan persepsi konektivitas yang lebih seamless. Seperti yang terjadi di Blok M saat fase pertama MRT beroperasi, Glodok pun berpotensi bertransformasi dari sekadar destinasi ke ruang harian yang hidup dan relevan kembali bagi generasi baru kota ini.

Transportasi publik telah terbukti sebagai pemantik utama perkembangan ruang kreatif dan kawasan gaya hidup. Saat aksesibilitas naik, peluang komersial dan sosial ikut tumbuh. Blok M adalah bukti nyata; MRT membuka sirkulasi manusia, yang kemudian membuka sirkulasi ide.

Tanda-tanda revitalisasi Glodok sudah muncul dalam skala kecil, tapi signifikan. Nama-nama seperti LIT Bakehouse dan MET mulai dikenal sebagai pelopor generasi baru pelaku usaha yang memadukan kekayaan lokal Glodok dengan standar hospitality modern.

Baru-baru ini bahkan, Little Salt Breadbrand roti populer dari Blok M—memutuskan untuk berekspansi ke Glodok. Langkah ini bukan sekadar ekspansi bisnis, tapi pertanda bahwa pelaku industri F&B muda mulai melirik kawasan ini sebagai ‘the next frontier’. Jika dalam dua-tiga tahun ke depan mereka membentuk ekosistem kecil yang solid, maka pola yang sama dengan Blok M bisa terulang: satu datang, lalu dua, lalu sepuluh.

Keunggulan Glodok bukan hanya karena potensinya secara komersial, tapi juga karena warisan budayanya. Di tengah tren global yang merayakan kembali akar budaya dan ruang otentik, Glodok bisa menjawab kerinduan akan tempat yang “bercerita.” Pecinan, toko herbal, bangunan kolonial, dan pasar elektronik bisa dibaca ulang oleh generasi baru untuk menghadirkan pengalaman yang berbeda dari pusat-pusat gaya hidup seragam.

Ketika ruang-ruang di kota makin terasa generik, Glodok justru punya diferensiasi alami. Bayangkan konsep art space dalam ruko tua, pertunjukan musik kecil di lantai dua toko jamu, atau toko lifestyle yang menyatu dengan rumah abu bersejarah. Ini bukan fantasi, hanya butuh keberanian untuk memulainya.

Yang akan membuat Glodok berkembang bukan hanya infrastruktur dan bisnis, tapi juga narasi. Kawasan ini butuh orang-orang yang bisa menceritakan ulang Glodok bukan sebagai 'tempat usang' tapi sebagai ruang budaya kontemporer. Komunitas, media, kurator ruang, dan seniman lokal akan punya peran penting dalam mengubah persepsi ini.

Blok M beberapa tahun terakhir dimulai bukan dari kapital besar, tapi dari eksperimen dan keberanian anak muda yang ingin menciptakan ruang sendiri. Glodok pun demikian. Dan dengan MRT yang akan hadir, kita hanya tinggal menunggu ledakan kecil yang akan mengubah segalanya.

Glodok bukan masa lalu. Ia adalah masa depan yang sedang menunggu untuk diaktifkan kembali.

Next
Next

Dangdut: Irama Lokal dengan Ambisi Global