Dangdut: Irama Lokal dengan Ambisi Global

Ketika Bad Bunny menjadi wajah reggaeton dan Burna Boy membawa afrobeat mendunia, muncul pertanyaan penting bagi Indonesia: siapa—atau lebih tepatnya, genre musik apa—yang bisa menjadi representasi kita di panggung budaya global?

Jawaban yang layak mendapat sorotan serius adalah dangdut.

Selama ini, dangdut sering dipinggirkan sebagai hiburan rakyat atau sekadar pengisi pesta hajatan. Namun, jika dilihat dari lanskap budaya global saat ini, justru karakteristik dangdut yang “merakyat” itu bisa menjadi keunggulan. Dangdut memiliki DNA yang sama dengan genre-genre global seperti reggae dari Jamaika, reggaeton dari Amerika Latin, hingga afrobeat dari Afrika Barat: semua genre tersebut lahir dari akar budaya lokal, diangkat oleh diaspora, lalu meledak sebagai suara autentik suatu bangsa.

Lihat saja bagaimana afrobeat, genre yang dulunya hanya populer di Lagos atau Accra, kini dibawa oleh Burna Boy dan Wizkid ke Coachella hingga Grammy Awards. Atau bagaimana reggaeton yang dulu dianggap musik jalanan kini menjadi suara utama Amerika Latin berkat dukungan komunitas diaspora, serta kolaborasi strategis dengan industri musik global.

Indonesia memiliki kondisi yang tak jauh berbeda: populasi besar, diaspora yang aktif, dan pasar musik domestik yang luar biasa. Tapi mengapa dangdut belum ikut naik panggung global?

Masalahnya bukan pada kualitas, melainkan positioning.

Dangdut memiliki ritme yang unik, memadukan unsur Melayu, Hindustan, dan ritme disko 70-an. Struktur musiknya catchy, gampang dinyanyikan ulang, dan punya nilai koreografi tinggi. Semua ini merupakan modal penting dalam industri musik global hari ini yang sangat visual dan berbasis viralitas.

Belakangan, upaya modernisasi dangdut mulai terlihat. Figur seperti Happy Asmara dan Denny Caknan mengawinkan dangdut dengan unsur pop dan rock. Di sisi lain, grup seperti NDX AKA mengusung dangdut hip-hop dengan lirik-lirik kehidupan jalanan. Atau Jemsii, Tenxi, dan Naykilla yang sempat viral lewat Garam dan Madu yang berhasil memodernisasi dangdut dan masuk ke segmen urban di kota-kota besar. Bahkan, lewat ajang pencarian bakat seperti D'Academy atau KDI, muncul regenerasi artis muda yang mulai melihat dangdut sebagai profesi serius dan potensial untuk ekspor budaya.

Yang kurang dari dangdut bukan kualitas musikal, tapi orkestrasi dari komunitas yang menyokongnya untuk naik kelas secara global. Lihat bagaimana reggaeton tumbuh dari komunitas diaspora Latin di New York dan Miami sebelum meledak di arus utama. Atau bagaimana Afrobeat berkembang lewat kolaborasi lintas benua—mulai dari Lagos hingga London, dari produser lokal sampai label besar. Keduanya besar bukan karena program pemerintah, tapi karena semangat kolektif komunitas, dukungan dari pelaku industri musik, dan strategi distribusi yang cerdas.

Indonesia memiliki ekosistem diaspora dan pasar lokal yang kuat. Jika digerakkan secara strategis—oleh label, promotor, hingga media independen—dangdut bisa mengikuti jejak yang sama.

Jika ingin dangdut menjadi wajah budaya Indonesia di mata dunia, harus ada intervensi sistemik: dari promotor musik yang berani bawa dangdut ke SXSW atau Primavera Sound, label rekaman yang siap membina artis dan kolaborasi lintas negara, hingga dukungan pemerintah yang memahami pentingnya soft power dalam bentuk budaya populer.

Hal ini juga butuh pembingkaian ulang: dangdut bukan sekadar “musik kampung”, tapi genre otentik Indonesia yang lahir dari kompleksitas sejarah dan kelas sosial. Justru karena itulah dangdut relevan untuk dunia yang kini lebih menghargai ekspresi budaya lokal sebagai bentuk identitas global.

Tentu, perubahan ini tidak akan terjadi semalam. Tapi seperti halnya K-pop yang butuh dua dekade untuk menjadi industri bernilai miliaran dolar, atau Afrobeat yang perlahan menembus pasar global lewat kolaborasi dan festival, dangdut juga punya peluang serupa—jika ada keberanian untuk mengambil langkah strategis sekarang.

Previous
Previous

Setelah Blok M, Di Mana Hotspot Budaya Jakarta Selanjutnya?

Next
Next

Assia Keva: Dari ‘Child Star’ ke ‘Rising Star’, Mencari Jati Diri Lewat Single Perdana di Bawah Naungan Maspam Company