Arc’teryx KW di Mal Elite: Kok Bisa Lolos?
Ketika logo premium menempel di etalase, tapi aslinya nihil. Apa kabar perlindungan merek di Indonesia?
Di salah satu mal paling bergengsi di Jakarta, sebuah toko dengan papan nama Arc’teryx baru saja dibuka. Dari luar, semuanya tampak meyakinkan: logo khas, display rapi, dan lokasi strategis di deretan brand internasional ternama. Namun, ilusi itu runtuh dalam hitungan hari ketika prinsipal Arc’teryx, merek perlengkapan outdoor asal Kanada yang terkenal dengan produk berteknologi tinggi, secara terbuka menyatakan bahwa mereka tidak memiliki toko resmi di Indonesia. Gerai di Jakarta itu, kata mereka, tidak sah dan tidak berafiliasi dengan perusahaan, sehingga tidak menawarkan garansi, dukungan, atau hubungan apapun dengan Arc’teryx yang asli.
Faktanya, pembukaan toko di Jakarta ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, gerai serupa juga sudah beroperasi di Bali, menggunakan nama dan identitas visual Arc’teryx tanpa otorisasi resmi. Polanya sama: hadir di lokasi strategis, membawa citra premium, namun tanpa keterkaitan legal dengan merek aslinya.
Pembukaan toko-toko ini terjadi bersamaan dengan proses hukum yang sedang berjalan di Pengadilan Niaga Jakarta terkait pendaftaran merek secara tidak sah oleh sebuah perusahaan asal Tiongkok, yang kini mengoperasikan toko tersebut.
Arc’teryx Equipment, menegaskan komitmen perusahaan, “Kami ingin menegaskan bahwa toko yang dibuka di mal besar Jakarta ini bukanlah toko resmi Arc’teryx. Produk yang dijual di sana tidak berasal dari Arc’teryx Equipment, sebuah perusahaan yang didirikan pada 1989 di Vancouver, British Columbia, Kanada, dan merek kami telah terdaftar di negara asalnya sejak 1992. Prioritas kami adalah melindungi konsumen dan memastikan hanya produk resmi Arc’teryx yang memenuhi standar tinggi kami yang tersedia di seluruh dunia.”
Pernyataan ini sekaligus menegaskan posisi Arc’teryx sebagai pemilik sah merek internasional tersebut. Lebih lanjut, Cameron menyampaikan bahwa selain proses hukum yang sedang berlangsung di Indonesia, pihaknya akan terus memantau dan mengambil langkah hukum jika diperlukan untuk melindungi merek dan konsumennya.
Bagaimana Toko Palsu Bisa Lolos di Mal Premium?
Indonesia sebenarnya telah memperkenalkan program sertifikasi pusat perbelanjaan untuk memerangi barang palsu. Salah satu syaratnya, setidaknya 70 persen tenant harus menjual produk asli untuk mendapatkan sertifikat resmi dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Namun, aturan ini tampaknya lebih mudah tertulis di kertas daripada diterapkan di lapangan. Praktik kurasi tenant yang seharusnya ketat justru terlihat longgar, bahkan di mal-mal yang selama ini menjadi tolok ukur “high-end retail” di ibu kota.
Lemahnya filter tenant ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ia mencerminkan rapuhnya garis pertahanan pertama Indonesia terhadap peredaran barang palsu, yaitu pengelola mal. Ketika pengawasan internal longgar, bukan tidak mungkin brand palsu melenggang masuk dan memanfaatkan citra premium mal untuk membangun legitimasi semu di mata konsumen.
Bayangan Gelap di Citra Ritel Jakarta
Bagi Jakarta yang sedang berambisi menjadi pusat ritel premium Asia Tenggara, insiden ini adalah noda yang sulit dihapus. Selama ini, mal-mal elit di ibu kota diposisikan sebagai destinasi belanja bagi kalangan mapan, turis mancanegara, hingga ekspatriat. Namun, dengan hadirnya toko “premium” yang ternyata palsu, kepercayaan itu bisa terkikis. Turis belanja yang biasanya memilih Jakarta untuk mencari barang autentik bisa beralih ke Singapura atau Kuala Lumpur, di mana penegakan HKI dianggap lebih disiplin.
Bagi brand internasional, kasus ini mengirim pesan yang mengkhawatirkan. Jika sebuah mal papan atas saja bisa kecolongan, bagaimana dengan pusat perbelanjaan lain? Mereka mulai mempertanyakan keamanan merek mereka di pasar Indonesia, mempertimbangkan ulang rencana ekspansi, atau bahkan memutuskan untuk fokus ke negara-negara tetangga dengan perlindungan merek yang lebih solid.
Dampak Jangka Panjang untuk Investasi dan Brand Lokal
Dampaknya tidak berhenti pada citra. Investor asing di sektor ritel dan lifestyle biasanya mempertimbangkan tiga faktor utama sebelum masuk: kepastian hukum, kualitas infrastruktur ritel, dan perilaku konsumen. Kasus seperti ini membuat skor Indonesia di tiga aspek itu terganggu. Kepastian hukum dipertanyakan karena penegakan hak merek dagang tampak lemah. Kualitas infrastruktur ritel ternoda oleh kelolosan tenant palsu. Dan perilaku konsumen ikut jadi sorotan, apakah mereka cukup menghargai orisinalitas atau justru mendukung pasar tiruan demi harga murah.
Brand lokal premium pun ikut terdampak. Jika konsumen terbiasa dengan barang tiruan yang lebih mudah ditemukan dan harganya jauh lebih murah, sulit bagi brand asli untuk mempertahankan nilai dan harga premium. Efeknya bisa berupa perang harga yang menurunkan kualitas produk atau hilangnya kepercayaan konsumen terhadap label “asli”.
Sorotan Global terhadap Penegakan HKI Indonesia
Indonesia saat ini masih berada di Priority Watch List dari U.S. Trade Representative, daftar negara dengan tantangan serius dalam perlindungan HKI. Upaya perbaikan memang ada, termasuk pembentukan Satgas Penegakan HKI, tetapi kasus seperti ini menegaskan bahwa langkah-langkah tersebut belum cukup membangun perlindungan yang proaktif.
Bagi lembaga internasional seperti WIPO (World Intellectual Property Organization), insiden ini adalah bahan evaluasi yang nyata. Indonesia berisiko dilihat sebagai pasar besar dengan potensi ritel tinggi, tetapi dengan fondasi perlindungan merek yang belum kokoh. Posisi tawar dalam perjanjian dagang atau kerja sama ekonomi bisa terpengaruh jika isu ini terus berulang.
Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Kasus Palsu
Toko Arc’teryx palsu di mal elit Jakarta adalah cermin dari masalah struktural yang lebih luas. Ia memperlihatkan bahwa status “premium” tidak otomatis berarti aman dari pembajakan merek, bahwa konsumen masih rentan tertipu legitimasi semu, dan bahwa penegakan HKI di Indonesia perlu lebih dari sekadar aturan di atas kertas.
Jika tidak ada pembenahan serius, baik dari pengelola mal, otoritas, maupun kesadaran konsumen, kasus ini akan menjadi preseden. Dan ketika preseden itu mengakar, bukan hanya brand asing yang dirugikan, tetapi seluruh ekosistem ritel dan reputasi Indonesia di mata dunia.