Catatan dari Creative Expo Taiwan 2025: IP Itu Soft Power, Bro!
Berjalan di tengah hiruk pikuk Creative Expo Taiwan 2025, rasanya seperti melihat “pameran” dan “pabrik ide” dalam satu waktu. Di sini, Intellectual Property (IP) bukan cuma konsep legal yang ngendon di kantor hukum, tapi komoditas, identitas, dan senjata diplomasi budaya.
Taiwan paham betul cara menjahit cerita, desain, dan karakter menjadi brand yang bisa dijual lintas benua. Mulai dari ilustrator indie sampai brand fashion, semuanya diperlakukan sebagai aset yang punya nilai ekonomi jangka panjang.
CET 2025 memamerkan ratusan IP lintas sektor: karakter animasi, desain produk, ilustrasi, fashion, hingga kuliner yang dikemas sebagai brand. Bagi negara peserta seperti Jepang, Korea, dan Thailand, IP ini bukan hanya karya seni, tapi soft power yang membentuk citra negara sekaligus mesin ekspor budaya.
Jepang membawa karakter dan cerita yang sudah jadi ikon global.
Korea menggabungkan IP dengan industri hiburan dan teknologi, menciptakan ekosistem K-content.
Thailand mengemas folklore lokal menjadi merchandise dan animasi yang siap ekspor.
Hasilnya? IP mereka hadir di rak toko global, layar streaming, hingga event internasional dan menghasilkan nilai ekonomi yang nyata.
Kalau dibandingkan, Indonesia punya modal budaya yang luar biasa: dari motif batik sampai cerita rakyat, dari kuliner sampai karakter komik lokal. Tapi ekosistem IP kita masih terjebak di tahap project-based—bukan franchise-building. Banyak karya berhenti di satu produk, tanpa strategi panjang untuk menjadikannya merek yang bisa hidup lintas platform dan pasar.
Taiwan memberi contoh bahwa IP perlu:
Narasi kuat agar publik terhubung emosional.
Konsistensi visual & branding supaya mudah dikenali.
Ekosistem dukungan, dari pembiayaan, lisensi, hingga promosi internasional.
Di CET, kita melihat bagaimana pameran ini bukan hanya tentang estetik, tapi strategi jangka panjang:
Memengaruhi persepsi negara di mata dunia.
Menciptakan peluang ekonomi baru.
Memperkuat posisi tawar di industri kreatif global.
Buat Indonesia, ini jadi pengingat bahwa IP bisa (dan harus) dilihat bukan cuma sebagai hak cipta yang perlu dilindungi, tapi sebagai aset yang bisa digerakkan untuk memimpin pasar, membentuk narasi bangsa, dan menghasilkan devisa.
Creative Expo Taiwan 2025 menunjukkan bahwa soft power dan economic power bisa berjalan beriringan lewat IP yang dikelola serius. Di Indonesia, kita sudah punya “bahan bakar” yang melimpah. Tinggal bagaimana membangun “mesin” yang tepat. Karena pada akhirnya, di era ini, kekuatan sebuah bangsa tidak hanya diukur dari sumber daya alam, tapi juga dari ide-ide yang berhasil jadi milik dunia.