Bukan Hanya tentang ‘Downgrade’, Ini Pelajaran dari Animasi “Merah Putih: One for All”
Pada awal tahun 2025, industri film animasi Indonesia disebut-sebut mengalami puncak kebangkitan dan prestasi. Pasalnya film Jumbo yang disutradarai oleh Ryan Adriandhy bersama 420 kreator lokal, sukses membuat publik terkesima. Visual karakter, gerakan, tone warna, hingga alur cerita yang rapi berhasil mengantarkan film animasi ini menyandang predikat film terlaris sepanjang masa dengan 10 juta penonton yang diraupnya.
Melalui film Jumbo ini, banyak penikmat film yang akhirnya optimis bahwa hadirnya animasi dengan kualitas setara standar internasional menandakan masa depan industri animasi lokal mampu bersaing di kancah global. Sehingga wajar saja, apabila ekspektasi publik terhadap film animasi berikutnya dapat hadir dengan kualitas yang setara atau bahkan melampaui film Jumbo ini.
Namun, ketika Jumbo berhasil melebarkan sayapnya dengan tayang di negara-negara ASEAN hingga Eropa, publik justru dikecewakan dengan industri animasi lokal yang justru mengalami kemunduran. Pasalnya, kualitas film animasi Merah Putih: One For All yang akan tayang di bioskop pada 14 Agustus 2025 sangat tertinggal jauh dari film Jumbo.
Ekspektasi Publik itu Nyata dan Tinggi
Menjelang 17 Agustus 2025, trailer film animasi Merah Putih: One For All hadir seolah sebagai hadiah untuk momentum perayaan kemerdekaan Indonesia ke-80.
Konsep film ini pun sebenarnya terlihat begitu menjanjikan dan nasionalis yaitu menyampaikan pesan tentang keberagaman, persatuan, dan cinta tanah air lewat kisah delapan anak dari latar budaya berbeda yang bersatu untuk menyelamatkan bendera merah putih yang hilang menjelang upacara kemerdekaan.
Akan tetapi, kontras dengan konsepnya yang terlihat menjanjikan, banyak netizen yang beranggapan kualitas animasi dari film ini justru balik ke ‘zaman majapahit’. Bagaimana tidak, karakter yang ditampilkan terlihat sangat kaku. Bahkan, ekspresi wajahnya pun datar sehingga tidak bisa menyentuh sisi emosional penonton.
Selain itu pencahayaan yang ditampilkan dalam film juga malah membuat penonton nostalgia karena mirip dengan game playstation di era awal 2000-an. Terlebih, aset yang ditampilkan terlalu umum bahkan cenderung aneh, seperti gudang desa yang menyimpan senjata sehingga tidak mampu merepresentasikan sebuah kampung atau desa ala Indonesia dengan baik.
Tak hanya itu, efek suara pun tidak selaras dengan alur cerita. Dalam trailer, terdapat momen ketika Tim Merdeka berusaha melepaskan burung kakaktua dari dalam kandang, namun alih-alih terdengar suara burung, yang diperdengarkan justru efek suara mirip monyet.
Dengan anggaran mencapai Rp6,7 miliar, wajar saja jika publik berekspektasi tinggi akan visual film yang setara dengan film animasi layar lebar. Namun, ketika ekspektasi itu tidak terpenuhi, publik pun tak akan ragu menunjukkan kekecewaannya dengan berbagai bentuk sindiran dan sarkasme.
Kondisi ini menunjukkan pentingnya komunikasi sejak awal terkait target kualitas, gaya visual, dan keterbatasan teknis untuk membantu mengelola ekspektasi penonton.
Membuat Film Animasi Tak Semudah Itu…
Sejatinya, proses pembuatan film animasi tak semudah membalikkan telapak tangan. Idealnya butuh waktu bertahun-tahun untuk menciptakan sebuah film animasi yang bagus. Misalnya saja, film animasi populer seperti Inside Out (2015) yang diproduksi oleh Pixar Animation Studio memakan waktu sekitar 5 tahun yaitu 3,5 tahun untuk riset dan 2 tahun untuk produksi film.
Selevel dengan hal tersebut, film animasi lokal yang sukses bersaing dengan film hollywood, Jumbo, pun juga memakan waktu pembuatan sekitar 5 tahun, tahap storyboard sudah dilakukan sejak 2020 dan proses produksi dimulai pada 2021. Selain itu, film animasi Battle of Surabaya yang tayang lebih dulu pada 2015 pun juga berhasil menembus pasar internasional diproduksi selama 3 tahun.
Di sisi lain, proses pembuatan film Merah Putih: One for All justru hanya memakan waktu 2 bulan yang dimulai pada Juni 2025 lalu. Sehingga narasi lokal yang lekat dengan identitas budaya dalam film animasi ini seharusnya dapat dipadukan dengan storytelling yang kuat dan visual yang matang dan relevan secara global.
Lebih lanjut, dugaan penggunaan aset dan produksi kilat juga jadi kombinasi yang pas untuk menuai kecaman dari warganet. Disinyalir karakter yang digunakan mirip dengan aset 3D yang di jual di marketplace Reallusion Content Store. Selain itu, latar jalanan yang dipakai juga juga mirip dengan aset siap pakai dari Street of Mumbai sebagaimana yang dibocorkan oleh Youtuber Yono Jambul.
Dugaan pembelian aset ini justru menjadi dilema bagi publik tentang bagaimana film ini digembar-gemborkan nasionalis dan produk lokal namun justru mengimpor karya aset luar negeri.
Di sisi lain sebenarnya dalam industri animasi global, penggunaan aset siap pakai merupakan praktik umum untuk efisiensi produksi. Oleh karena itu, dengan transparansi dan edukasi kepada publik tentang proses kreatif ini, persepsi yang awalnya dianggap sebagai tanda “kemalasan” bisa berubah menjadi strategi produksi yang efektif.
Momentum Kemerdekaan itu Krusial
Sebenarnya, momentum rilis menjadi faktor krusial bagi film bertema kemerdekaan. Namun, meski menawarkan peluang yang besar, persaingan di lini masa juga perlu diperhatikan. Kontroversi yang muncul hanya beberapa minggu sebelum hari-H berpotensi memengaruhi persepsi publik.
Dengan demikian, sebaiknya perencanaan jadwal rilis dan strategi promosi harus mempertimbangkan momen, tren, serta kesiapan materi promosi agar pesan film tidak tenggelam di tengah hiruk-pikuk pemberitaan. Akan menjadi hal yang sangat disayangkan jika momentum kemerdekaan cenderung dipaksakan mempromosikan film yang sejatinya ‘belum siap’ bersaing di tengah era industri animasi modern saat ini.
Meski respon publik terhadap Merah Putih: One for All cukup keras, namun sebenarnya hal ini dapat membuka diskusi yang luas tentang standar animasi Indonesia. Kritik-kritik ini bukan menjadi hambatan, tetapi justru dapat menjadi data untuk mengidentifikasi apa yang diinginkan penonton serta aspek yang perlu ditingkatkan di proyek film animasi berikutnya.
Merah Putih: One for All adalah contoh bahwa di era digital, karya kreatif tidak hanya diukur dari niat dan pesan, tapi juga dari eksekusi dan penerimaan publik. Dari sini, pembuat film dan industri animasi Indonesia bisa belajar: transparansi, kualitas, dan strategi komunikasi adalah kunci untuk memenangkan hati penonton baik di bioskop maupun di timeline.