Potensi Bisnis Dari Desain Karakter

processed_Geometry-Intellectual_Property.jpg

Siapa yang tidak tahu Stan Lee, figur legendaris di balik kesuksesan karakter-karakter Marvel? Bersama komikus Jack Kirby, beliau menghasilkan cerita tokoh kepahlawanan yang punya kekuatan super melindungi dunia dari kejahatan. Setelah membaca komik atau menonton filmnya pernah tidak bertanya-tanya sendiri, “Dari mana inspirasi mereka?” “Bagaimana cara mereka menciptakan karakter yang ternyata bisa mendulang penghasilan dan popularitas?” Sebagian orang mungkin merasa mustahil menjadikan hobi menggambar sebagai sebuah bisnis. Biasanya kita mungkin hanya tahu karya seni dengan fisik nyata saja yang bisa dijual seperti lukisan, patung, atau kerajinan tangan lainnya. Namun ternyata tidak demikian. Kalau kita mau memahami lebih dalam tentang bisnis intellectual property atau karya intelektual kreatif, ternyata kita bisa menghasilkan keuntungan dari karya kreatif yang tidak melulu berupa benda fisik. Karya tersebut bisa berupa logo, gambar yang dibubuhkan dalam produk-produk untuk merchandise, dan tentu saja seperti yang dibuat oleh Stan Lee: karakter komik.

Secara sederhana Co-founder Katapel, platform komersialisasi dan edukasi karya intelektual kreatif, Robby Wahyudi menjelaskan, “Bisnis Intellectual Property adalah suatu usaha yang didasari dengan penciptaan sebuah karya intelektual dan dimonetisasi melalui proses komersial (penjualan, peminjaman atau sewa serta pendistribusian) dalam jangka waktu tertentu. Karya intelektual kreatif juga bisa diartikan sebagai karya kreatif yang mempunyai nilai tambah di luar produk kreatif tersebut.” Contohnya karakter kelinci, Kelincuy, yang dikembangkan oleh Puty Puar dalam akun Instagram @klncuy. Meskipun masih tergolong baru memulai, tapi Puty merasa karakter Kelincuy berpotensi untuk menjadi sebuah bisnis intellectual property. Ia melakukan eksplorasi dan mengembangkan cerita Kelincuy dalam platform Instagram yang belakangan sudah menuai kolaborasi dengan berbagai pihak untuk dijadikan merchandise. 

Secara singkat sebuah karya intelektual dapat dikomersialisasi melalui metode penjualan, peminjaman, atau penyewaan karya tersebut seperti kolaborasi merchandise yang dilakukan Puty. Akan tetapi, kepemilikan karya bisa dipindahtangankan dengan imbalan tertentu jika memang ada kesepakatan. Oleh karena itu sebuah karya intelektual sebaiknya didaftarkan untuk Hak Cipta agar mengurangi risiko terjadinya duplikasi yang dilakukan orang lain. Pada dasarnya ada tiga hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam rangka pembuatan karya intelektual kreatif. Seperti diungkapkan lebih lanjut oleh Robby Wahyudi:

Pertama, seorang kreator harus mempertimbangkan masak-masak soal penamaan sebab ini berhubungan erat dengan hak cipta dan pendaftaran merek. Apabila sebuah nama sudah dipergunakan orang lain, alangkah baiknya kita tidak menggunakan nama yang sama untuk menghindari konflik di masa depan.

Kedua, penentuan target market. Kita harus bisa membaca pasar yang mau kita tuju agar bisa lebih mengenal calon pelanggan terlebih dahulu. Sehingga nantinya bisa memudahkan mereka untuk mengambil keputusan dalam komersialisasi karya kreatif kita. Penentuan pasar jadi signifikan karena akan menentukan pula harga jual karya. Setiap karya sejatinya punya pasar masing-masing. Sebuah lukisan abstrak bisa terjual puluhan juta dollar di galeri internasional. Namun ia tidak akan ada harganya jika dijual di pasar tradisional. 

Sebuah karya bisa terjual apabila sudah menemukan target market yang tepat. Di masing-masing subsektor ekonomi kreatif mempunyai cara menentukan harga jual sebuah karya yang berbeda-beda. Biasanya masing-masing daerah mempunyai standar harga untuk sebuah karya kreatif. Contoh harga tiket menonton bioskop dengan SES (Sosial Ekonomi Status) B+ tidak akan berbeda dengan harga tiket bioskop lainnya yang mempunyai SES yang sama. Namun harga karya kreatif bisa juga dibedakan tergantung dengan biaya modal produk yang dibuat. Berbeda dengan komersialisasi IP di industri lisensi. Sebuah karya kreatif bisa mempunyai harga lisensi yang tinggi tergantung dari brand awareness, brand value, social media engagement rate, past commercialisation value, dan sebagainya.

Ketiga adalah penentuan core medium. Dalam sebuah penciptaan karya intelektual kreatif kita harus bisa menentukan medium apa yang mau dibuat. Entah itu komik, animasi, film, lagu, novel, web comic, fashion brand, atau yang lainnya. Jangan sampai perencanaan dalam pembuatan karya kreatif gagal karena kita tidak mengetahui kemampuan sumber daya yang dimiliki.

Pengembangan karya berkelanjutan juga disinyalir jadi faktor penting dalam bisnis ini. Seperti bisnis pada umumnya, kita harus bisa selalu menghadirkan sesuatu yang baru dan inovatif sebab tren pasti akan berubah. Begitu pula dengan perilaku masyarakat. “Pada dasarnya, pengembangan sebuah karya intelektual kreatif itu tidak ada akhirnya. Sekelas Disney yang merupakan mercusuar atau kiblat industri kreatif saja tidak pernah berhenti mengembangkan karya intelektual kreatif. Agar bisa terus mengembangkan karya seorang kreator harus memliki rencana jangka pendek, menengah dan panjang dalam berkreasi. Seperti J.K Rowling. Setelah kesuksesan dalam seri Harry Potter, ia membuat spin off atau cerita sampingan salah satu karakter yang ada di dalam buku menjadi karya baru dalam sebuah semesta yang serupa.” Tambah sang Program Director Katapel.

Puty Puar, pencipta karakter Kelincuy. Image courtesy of Puty Puar.

Puty Puar, pencipta karakter Kelincuy. Image courtesy of Puty Puar.

Hal serupa juga dilakukan oleh Puty Puar dalam mengembangkan Kelincuy. Menurutnya penting sekali untuk secara konsisten menceritakan karakter Kelincuy itu sendiri. Membuatnya jadi punya kepribadian dan cerita sehingga nantinya bisa dikembangkan lebih jauh. “Saya sempat belajar di bootcamp soal karya intelektual bahwa sebuah karakter bisa diberikan kepribadian untuk tiap panca indera. Contoh musik apa yang cocok, rasa dan tekstur seperti apa yang khas untuk karakter tersebut. Terus diolah agar bisa terus ada perkembangan di masa depan. Ini nantinya menentukan nilai jual karakter itu sendiri. Misal, karakter Kelincuy suka makan, jadi dia cocok berkolaborasi dengan brand F&B.” Terang ilustrator yang juga penulis buku tersebut. 

Puty mengakui awalnya membuat karakter Kelincuy hanya karena ia suka karakter yang chubby dan lucu. Sedikit banyak karakter tersebut merepresentasikan karakternya sendiri. Selain karena Puty mengakui suka berbagai macam karakter kelinci seperti Bobo, Pank Ponk atau Miffy. Karakter kelinci juga mudah digambar Dari segi intellectual property Kelincuy bentuknya sederhana mudah diingat. Berpotensi untuk mudah diterima oleh berbagai usia, mulai dari anak-anak, remaja, hingga perempuan yang menjelang umur dewasa. Dari segi karakter sendiri, Kelincuy terbilang cukup 'deep'. Inilah yang kemudian bisa dikembangkan lebih banyak lagi oleh Puty. “Kelincuy sebenarnya saya jadikan karakter yang perilakunya menyerupai manusia untuk menyampaikan pikiran-pikiran saya dari sudut pandang lain. Seringkali ketika saya mencoba ‘berbicara’ dengan karakter Kelincuy rasanya seperti ngobrol dengan diri sendiri.”

Karakter Kelincuy menghiasi kemasan produk es krim. Salah satu contoh potensi kolaborasi dan monetisasi dari intellectual property. Image courtesy of Amame Ice Cream

Karakter Kelincuy menghiasi kemasan produk es krim. Salah satu contoh potensi kolaborasi dan monetisasi dari intellectual property. Image courtesy of Amame Ice Cream

Memahami ini, siapapun yang memiliki ide kreatif sesungguhnya memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk mengambil keuntungan dari kreativitasnya. Tentunya menghasilkan karya tidaklah cukup. Pengetahuan serta keinginan terus berkembang dan belajar harus menjadi satu paket lengkap. Pada akhirnya para kreator harus bisa mulai menyadari bahwa mereka adalah pabrik karya kreatif. Jangan pernah berhenti di satu karya saja karena itu akan melimitasi kreasi dan potensi yang dimiliki. Terus berproses dan berinovasi untuk terus membuka peluang-peluang bisnis baru yang berkelanjutan.

Previous
Previous

Belajar Bisnis Tanaman Hias Dari Living With LOF

Next
Next

Influencer Marketing di Tengah Pandemi