Royalti Musik untuk Bisnis: Apa yang Harus Diketahui Pemilik Usaha agar Tak Terjerat Hukum
Kasus pelanggaran hak cipta yang menyeret Direktur PT Mitra Bali Sukses, pemegang lisensi Mie Gacoan di Bali, menjadi pengingat penting bagi pemilik usaha: memutar musik di ruang publik tanpa membayar royalti bisa berujung pidana. Ini bukan sekadar masalah estetika atau suasana, tapi menyangkut hak ekonomi dari para pencipta dan pemilik karya.
Musik yang diputar di restoran, kafe, toko, atau ruang publik lainnya bukan hanya hiburan—ia adalah aset bisnis. Musik membentuk pengalaman pelanggan, menciptakan atmosfer, bahkan memengaruhi lama kunjungan atau keputusan pembelian. Maka wajar jika pemilik hak cipta musik berhak mendapatkan kompensasi atas pemanfaatan karya mereka secara komersial.
Sayangnya, banyak pelaku usaha belum sadar bahwa penggunaan akun streaming pribadi (seperti Spotify, Apple Music, YouTube Premium) untuk keperluan bisnis adalah bentuk pelanggaran hukum.
Spotify misalnya, secara eksplisit menyatakan bahwa layanannya tidak boleh digunakan di ruang publik atau untuk keperluan komersial. Untuk itu, tersedia layanan khusus seperti:
Soundtrack (dahulu Spotify for Business)
Epidemic Sound
PlayUp by LangitMusik
Namun, hanya PlayUp yang saat ini sudah mengantongi kerja sama lisensi resmi dengan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) di Indonesia. Sementara Soundtrack dan Epidemic Sound tetap membutuhkan lisensi tambahan agar legal di mata hukum Indonesia.
Banyak pelaku usaha beranggapan membayar royalti itu mahal. Faktanya, tarifnya cukup jelas dan tidak memberatkan, terutama untuk usaha mikro dan kecil:
Restoran & Kafe: Rp 60.000/kursi/tahun
Pub & Bar: Rp 180.000/m²/tahun
Diskotek & Klub Malam: Rp 250.000/m²/tahun (hak cipta), Rp 180.000/m² (hak terkait)
Biaya ini juga bisa dinegosiasikan melalui asosiasi usaha dan dalam beberapa kasus dikenakan tarif khusus untuk UMKM.
Menggunakan musik tanpa membayar royalti bukan hanya melanggar hukum, tapi juga mencederai etika industri kreatif. Pelaku industri kreatif, termasuk musisi, pencipta lagu, dan produser, hidup dari karya mereka. Menghargai hak mereka adalah bagian dari menciptakan ekosistem bisnis yang sehat dan berkelanjutan.
Sebagai pelaku usaha, membayar royalti adalah bentuk profesionalisme. Ini mencerminkan integritas dan menghargai kolaborasi antar sektor. Dalam era digital di mana jejak hukum dan reputasi mudah tersebar, kepatuhan terhadap regulasi menjadi nilai tambah tersendiri.
Kasus Mie Gacoan Bali hanyalah satu contoh dari banyaknya pengawasan yang mulai dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif. Daripada menunggu surat panggilan atau berurusan dengan hukum, lebih baik mulai dari sekarang: cek legalitas penggunaan musik di tempat usahamu.
Royalti musik bukan sekadar formalitas. Ini adalah bagian dari rantai nilai industri kreatif yang seharusnya dipelihara bersama. Musik memperkuat brand, menciptakan atmosfer, dan membantu narasi bisnis. Sudah sewajarnya pelaku usaha memberi apresiasi melalui jalur resmi, demi karya yang terus hidup, dan bisnis yang tumbuh sehat.