Lapangan Kerja Semakin Sedikit, Apakah Beralih Jadi Content Creator Jawabannya?
Dulu, cita-cita anak muda sering terfokus pada profesi seperti dokter, pilot, atau PNS. Namun saat ini, khususnya di kalangan Gen Z dan Gen Alpha, jawaban paling populer untuk pertanyaan “Mau jadi apa setelah lulus?” adalah content creator.
Fenomena ini tentunya hadir bukan tanpa alasan. Saat ini, banyak sektor industri yang mulai melakukan lay-off besar-besaran dari perusahaannya karena tenaga manusia kini sudah banyak bisa digantikan oleh tenaga mesin dan artificial intelligence (AI) yang merupakan buah dari kemajuan digitalisasi. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor menyempitnya lapangan kerja saat ini.
Di sisi lain, media sosial justru menawarkan harapan baru bagi anak muda. Karena kini siapapun yang memiliki handphone dan koneksi internet, mereka akan sama-sama memiliki peluang yang setara untuk meniti karier yang menjanjikan dari rumah. Tepatnya dengan menjadi content creator di media sosial seperti YouTube, TikTok, ataupun Instagram.
Content creator, sebuah pekerjaan yang bahkan tidak terpikirkan sejak satu dekade lalu, kini menimbulkan sebuah pertanyaan krusial tentang “Apakah di tengah sulitnya mencari kerja dan menipisnya lapangan kerja, content creator dapat menjadi jawaban bagi anak muda mencari penghasilan utama untuk hidup?”
Tren Peralihan Content Creator: dari Hobi, ke Freelancer, Hingga jadi Full-Time Nafkahi Hidup
Secara sederhana, content creator adalah orang yang memproduksi dan menyebarkan konten digital, baik berupa video, tulisan, gambar, atau audio. Tapi secara historis, profesi ini punya akar panjang.
Awalnya content creator muncul di tengah era populernya Blogger dan Wordpress pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Lalu, pada 2005, YouTube hadir dan mengubah tren dunia digital. Saat YouTube meluncurkan Partner Program pada 2007 yang mana para kreator bisa mulai mendapatkan uang dari iklan, akhirnya muncul asumsi bahwa konten bukan cuma soal hobi, tapi juga dapat jadi potensi cuan.
Tren makin melesat dengan hadirnya Instagram (2010) dan TikTok (2016). Kini, makin banyak perusahaan yang beriklan lewat kreator sehingga membuka peluang monetisasi lewat endorsement, paid promote, hingga affiliate marketing.
Adapun pandemi Covid-19 juga semakin mempercepat semua ini. Ketika banyak orang kehilangan pekerjaan dan semua kegiatan berpindah ke layar, media sosial justru jadi tempat banyak orang bertahan, berkarya, bahkan mencari nafkah. Di sinilah budaya kerja baru seperti work from home/anywhere dan profesi content creator mulai dianggap serius.
Bahkan saat ini, data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjukkan bahwa ada sekitar 17 juta konten kreator di Indonesia. Dari jumlah itu, 8 juta orang menjadikannya sebagai pekerjaan utama. Bahkan 63% di antaranya berpenghasilan di atas UMR.
Data ini tentunya tak bisa dianggap remeh karena menunjukkan bagaimana profesi content creator hadir bukan hanya menjadi penghibur dunia digital, tetapi juga dapat menjanjikan penghasilan yang mumpuni dan menyerap tenaga kerja. Tidak heran bukan jika anak muda mulai berpikir ulang: “Daripada nganggur, kenapa nggak coba jadi content creator aja?”
Bertahan di Tengah Algoritma yang Tidak Pasti
Tentunya menjadi content creator di era lapangan pekerjaan yang kian menyempit ini dapat menjadi tawaran yang menggiurkan untuk mencari nafkah bagi anak muda. Hal ini tentunya tak luput dari jam kerja fleksibel, ketidakhadiran atasan, dan berpotensi menghasilkan uang dalam jumlah besar yang menjadi alasan utamanya.
Bahkan beberapa figur content creator seperti @rapalguna yang mempunyai 453,2 ribu pengikut di TikTok mengaku pernah resign di Juni 2023 dari pekerjaan utamanya untuk fokus membangun karier dari awal menjadi content creator. Hal ini disampaikan melalui videonya yang diunggah pada 26 April 2024 lalu.
Namun, ternyata realita di balik layar tak seindah itu pula. Bertahan di tengah algoritma yang tidak pasti akan menjadi salah satu tantangan terbesar seseorang yang akan memulai profesi content creator dari nol.
Seperti yang dibagikan melalui akun @syafazelvia pada 14 Juni 2025, yang kini memiliki 13,9 ribu pengikut, perjalanannya sebagai konten kreator tidak langsung membuahkan hasil. Di awal, hanya sedikit kontennya yang viral, bahkan sebagian besar bahkan hanya ditonton ratusan kali. Penghasilan dari program afiliasi pun masih bisa dihitung dengan jari.
Selain itu, meski terlihat mudah menghasilkan uang, realitanya menjadi content creator juga harus bekerja keras. Mereka dituntut untuk selalu mencari ide kreatif, menganalisis konten, menulis script, hingga memproduksi dan mengedit video sendiri. Semua hal ini pun dilakukan tanpa ada jaminan bawa kontennya akan viral.
Jadi Jalan Alternatif Anak Muda, Tapi Belum Menjanjikan Jadi Satu-Satunya
Lantas, apakah menjadi content creator adalah solusi di tengah era menipisnya lapangan kerja? Jawabannya mungkin iya bagi sebagian orang, tapi bisa jadi tidak bagi sebagian lainnya.
Dunia digital memang membuka peluang yang besar untuk mencari nafkah, tetapi dunia ini belum tentu jadi solusi insan bagi semua orang. Dunia digital juga menuntut keterampilan, daya tahan mental, dan kemampuan adaptasi yang tinggi bagi siapapun yang berani mengadu nasib di dalamnya.
Menjadi content creator memang bisa menjadi alternatif bagi anak muda, namun belum tentu bisa menggantikan sepenuhnya jaminan profesi klasik saat ini. Yang penting untuk dipahami adalah anak muda perlu terus adaptif terhadap perkembangan zaman.
Saat ini, anak muda yang lahir di era digital tak harus lagi hanya menunggu lowongan kerja atau panggilan wawancara, tapi mereka juga bisa aktif menciptakan peluang kerja bagi diri sendiri, baik melalui konten, bisnis daring, maupun inovasi lainnya di dunia digital.
Apalagi di tengah maraknya penggunaan AI dan perubahan zaman yang terus bergerak begitu cepat, tentu yang mampu bertahan bukan hanya tentang siapa yang paling pintar, tapi juga tentang siapa yang paling adaptif.