Mencintai Negeri Lewat Tenun Ikat

Cover1-03-03.jpg

Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk menunjukkan sisi nasionalis. Mulai dari hal kecil seperti berbahasa Indonesia yang baik dan benar hingga hal besar seperti mewakili Indonesia di tingkat internasional sebagai representasi budaya. Bagi Cendy Mirnaz, pendiri Noesa, sisi nasionalis dapat ditunjukkan dengan menyebarluaskan kecintaan terhadap budaya Indonesia yakni memakai tenun ikat.

Berawal dari sekadar perjalanan berlibur dengan rekannya Annisa Hendrato ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Bagaikan jatuh cinta pada pandangan pertama, ketika melihat warna-warna yang begitu indah memancar dari kain tenun ikat asli Flores mereka pun membayangkan betapa eloknya tenun ikat tersebut jika melekat pada tubuh. Pun terbersit dalam pikiran mereka untuk membawa tenun ikat pulang ke Jakarta.

Dari sekadar menjual tenun ikat, akhirnya mereka pun melakukan eksplorasi lebih luas dan mendirikan Noesa, sebuah situs kolaborasi seni dan alam yang menyampaikan keberagaman budaya Indonesia. Tidak hanya tenun kain saja, akhirnya Noesa pun menjual kerajinan-kerajinan tangan yang berbasis kebudayaan. Demi mempertahankan sisi budaya asli, mereka turut mengajak para penenun asli untuk bekerjasama memproduksi tenun ikat yang dapat diubah bentuk ke berbagai fungsi yang tak sekadar pakaian saja. Sehingga misi Noesa pun tidak semata-mata memasarkan tenun ikat untuk memperoleh keuntungan materi saja tapi juga untuk memberdayakan para penenun agar memiliki penghasilan dan kehidupan yang lebih layak dan menumbuhkan semangat juang serta kepercayaan mereka terhadap bangsanya.

processed_mrch-5.jpg

“Sedih rasanya ketika tahu di Indonesia yang mengetahui keberadaan tenun ikat biasanya hanya orang tua saja. Belum banyak anak muda yang mengenal ikat. Bahkan tidak tahu perbedaan ikat dengan batik dan kain khas daerah lainnya. Hanya segelintir anak muda yang peduli dengan tekstil Indonesia saja yang mungkin tahu,” pungkas Cendy. Saat ditanya bagaimana mendefinisikan tenun ikat pun dia menjelaskan bahwa ikat adalah benang yang direntangkan panjang-panjang dan diikat untuk dihasilkan ke dalam bentuk kain. Pada dasarnya jenis tenun itu ada banyak tapi keistimewaan tenun ikat adalah benangnya diikat dulu untuk menghasilkan motif tertentu baru ditenun. Proses pewarnaan juga menggunakan pewarna alami yang ada di sekitar daerah tersebut. Inilah yang membuat tenun ikat yang dipromosikan Noesa berbeda karena Cendy mengaku mereka bereksplorasi dengan warna-warnanya. Melakukan beragam riset dan pengembangan untuk menghasilkan warna-warna yang unik. 

Target utama Noesa sendiri berpusat pada anak-anak muda sehingga mereka berusaha menghasilkan warna-warna yang diminati generasi muda. “Biasanya kami mencari warna-warna pop. Untuk itu kami selalu berdiskusi dengan para penenun soal bagaimana mencari pewarna alami tersebut. Referensi warna tersebut juga kadang berasal dari buku-buku serta percobaan bahan-bahan alami di sekitar daerah produksi,” terang Cendy. “Dari hasil riset, setelah menemukan warna apa yang paling banyak dicari akhirnya kami memperbanyak warna-warna tersebut. Begitu juga dengan motif. Biasanya untuk mempercepat waktu pengerjaan (karena membutuhkan proses pengerjaan kurang lebih satu bulan) maka kami menerapkan sebuah sistem. Awalnya kami menentukan warna dan motif apa yang harus diproduksi lalu kami buatkan layout dan dikirim ke penenun sehingga mereka tinggal membaca gambar yang ingin kami jual. Karena kami juga sudah mengetahui warna apa yang banyak dipakai, kami pun meminta para penenun untuk menyimpan stok benang yang sudah diwarnai” lanjut Cendy lebih jauh. 

processed_DSCF8699.jpeg

Dengan generasi muda sebagai target utama Noesa, maka media promosi pun dibuat sedemikian rupa agar sejalan dengan pemikiran dan perilaku mereka. Kisah yang ditebarkan tentang kerajinan tangan budaya Indonesia didistribusikan lewat media digital seperti media sosial, e-commerce, juga acara-acara interaktif yang menggugah perhatian millennials. Salah satunya adalah dengan bergabung di dalam acara International World Ikat Textile Symposium yang hadir di Jakarta pada 23-25 Agustus 2019. “Acara yang bertaraf global ini sebenarnya ingin memperlihatkan pada masyarakat bagaimana komunitas dunia berbagi keindahan tenun ikat karena kerajinan ikat ternyata tidak hanya ada di Indonesia.” Ungkap Cendy. Sebelum ini, acara International World Ikat Textile Symposium telah diselenggarakan di Inggris, India, Malaysia, dan Thailand.

“Tapi sebenarnya produksi tenun ikat di Indonesia memang paling banyak di dunia, sehingga tidak heran acara ini harusnya memang diadakan di sini.” Jelasnya. “Acara semacam ini pulalah yang dapat mendorong masyarakat sadar dengan keberadaan kerajinan tenun ikat. Meski sebenarnya semakin ke sini kain tradisional sudah makin populer di masyarakat karena pengaruh para selebriti dan figur publik yang sering menggunakan kain tradisional. Akan tetapi pengetahuan mereka masih terbatas kain-kain tertentu yang digunakan para figur publik itu saja. Sehingga menurut saya kita perlu mendalami lagi budaya sendiri. Jangan sampai budaya tersebut hilang apalagi dicuri orang.” tutup Cendy mengakhiri diskusi.

Previous
Previous

Albert Yonathan Setiawan: Pesan Kehidupan Dalam Seni Tanah Liat

Next
Next

Abenk Alter: Membentuk Identitas Diri Lewat Seni