Albert Yonathan Setiawan: Pesan Kehidupan Dalam Seni Tanah Liat

Solar Worship (2015-2019) © Albert Yonathan Setiawan, Photography by MIYAJIMA Kei, Courtesy of POLA Museum Annex and Mizuma Art Gallery

Solar Worship (2015-2019) © Albert Yonathan Setiawan, Photography by MIYAJIMA Kei, Courtesy of POLA Museum Annex and Mizuma Art Gallery

Berbicara tentang seni mungkin tidak semua orang langsung setuju untuk bergabung dalam diskusi. Apalagi jika medium seni yang dibicarakan terlihat penuh dengan interpretasi yang rumit. Satu dan lain hal mungkin karena medium tersebut tidak ada di tengah-tengah mereka. Lukisan contohnya. Tidak semua orang tertarik membeli lukisan. Namun bagaimana dengan seni keramik yang notabene kita gunakan dalam kegiatan sehari-hari? Nampaknya inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa Albert Yonathan, seorang seniman asal Bandung, menggunakan medium keramik sebagai senjata berkeseniannya.

Dalam buku yang pernah ia baca karya Marshall McLuhan, Understanding Media, Albert memahami bahwa medium adalah sebuah pesan perpanjangan tangan dari pikiran dan eksistensi keberadaan diri. Secara singkat dijelaskan bahwa terdapat pengalaman yang dirasakan ketika menikmati sebuah medium. Alasannya adalah di dalam media tersimpan konten yang kita sadari sebagai pesan dari media yang dilihat. Sang pengarang memberikan contoh dari karya Picasso yang disebut Cubism. Pada dasarnya Picasso berniat untuk memberikan sang penikmat seni pengalaman untuk melihat sebuah obyek dari berbagai perspektif secara berulang. Bukan sekadar perspektif dalam dua dimensi. Ketika menikmatinya, lukisan tersebut lama-lama memiliki nilai holistik karena banyak hal yang dapat dilihat mata. Lukisan kubisme tersebut tidak memberikan sebuah konten mengenai kisah apa di balik lukisan tapi tentang pengalaman yang dirasakan saat melihatnya.

2.jpg

“Saya mencoba untuk mengaplikasikan gagasan semacam ini pada keramik. Saya pun mempertanyakan banyak hal seperti: bagaimana jika saya menggunakan medium lain? Akankah menciptakan pengalaman yang sama? Akankah seseorang mendapatkan pengalaman yang sama? Tapi kemudian saya berpikir pasti akan ada perbedaannya. Malahan mungkin sangat berbeda. Keramik adalah sebuah medium yang sudah digunakan bahkan sebelum manusia menciptakan lukisan. Pun digunakan sebagai alat kebudayaan. Hingga kini kita pun masih menggunakannya dalam aktivitas sehari-hari.” Jelasnya mengenai pemilihan medium keramik.

Keramik adalah sebuah medium yang sudah digunakan bahkan sebelum manusia menciptakan lukisan.

Perjalanan Albert pun tidak semerta-merta langsung menjatuhkan pilihannya pada keramik, Bahkan awalnya Albert tidak benar-benar yakin dirinya ingin menjadi seorang seniman. Memang jebolan Institut Teknologi Bandung ini amat menyukai seni visual sejak kecil dan tahu benar subyek apa yang ingin dipelajarinya. Hanya saja memilih keramik sebagai fokus seninya sama seperti keinginannya menjadi seorang seniman. Semuanya ada proses. Sehingga ketika melihat setiap karyanya para penikmat seni dapat melihat proses perwujudan diri yang berasal dari berbagai filosofi, kepercayaan dan pengalaman hidupnya. Salah satu faktor besar yang mempengaruhi pembentukan karyanya adalah pengalaman pribadinya sebagai seorang Tionghoa yang bertumbuh dalam keluarga Kristen. 

Semuanya ada proses. Sehingga ketika melihat setiap karyanya para penikmat seni dapat melihat proses perwujudan diri yang berasal dari berbagai filosofi, kepercayaan dan pengalaman hidupnya.

Terang Albert mengenai unsur intrinsik dalam karyanya, “Sejak saya kecil, saya terlibat dalam berbagai kegiatan gereja. Ajaran Kristiani berperan besar pada masa kecil saya. Sehingga saat saya mulai mempelajari seni, perasaan melihat karya seni sama seperti perasaan ketika saya berada di gereja. Waktu itu saya baru saja akan lulus dari kuliah dan sesuatu terjadi pada kehidupan spiritual saya. Saya memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam kegerejaan. Sebaliknya justru mempelajari agama-agama lain terutama Buddha – meski saya tidak mengatakan saya beragama Buddha. Dari sinilah juga saya mulai mengaplikasikan beragam gagasan dalam filsafat Buddha dalam karya seni. Di mana dalam Buddha, semesta adalah pusat spiritualitas manusia. Saya pun perlahan percaya bahwa agama seharusnya menjadi amat personal dan spiritualitas sesuatu yang universal. Kita selalu bisa berbicara tentang spiritualitas dengan orang yang berbeda agama. Juga tetapi bisa tetap terlibat dengan mereka tanpa batasan. Menurut saya, paham spiritualitas yang universal ini menjadi bentuk kesadaran yang membuat kita selalu berada di saat ini (present).”

Ascencion (2019) © Albert Yonathan Setiawan, Courtesy of Mizuma Gallery

Ascencion (2019) © Albert Yonathan Setiawan, Courtesy of Mizuma Gallery

Tidak berhenti di sana, Albert juga percaya bahwa keramik sendiri merupakan sebuah material yang memiliki unsur konotasi dan asosiasi pada kehidupan manusia. Selain karena keramik digunakan untuk perabotan rumah tangga, keramik juga memiliki nilai kesejarahan yang tinggi. Dari sekadar tanah liat sebuah monumen bahkan prasasti dapat menjadi tonggak sejarah sebuah budaya dan bangsa. Nilai-nilai tersebut kemudian ia gabungkan dengan nilai-nilai spiritual sehingga menghasilkan sebuah keseimbangan dalam karyanya. Uniknya lagi pada kebanyakan karyanya pola geometris memainkan peran tersendiri. “Pola geometris dapat merepresentasikan pikiran manusia sehubungan dengan bagaimana kita seringkali mencoba menemukan keseimbangan nan sempurna antara hal yang dapat dikendalikan dan tidak, antara hal yang berbau organik dan industrial. Hidup kita pun merupakan pola dengan variasi yang tak terbatas – dapat dilihat secara nyata dan abstrak. Sebenarnya tidak berbatas pada pola geometris tapi dari pola tersebut saya ingin melihat bagaimana tanah liat dapat terus berevolusi hingga nantinya saya akan menemukan keseimbangan sempurna dalam pembentukannya.”

Pola geometris dapat merepresentasikan pikiran manusia sehubungan dengan bagaimana kita seringkali mencoba menemukan keseimbangan nan sempurna antara hal yang dapat dikendalikan dan tidak, antara hal yang berbau organik dan industrial.

Pemahamannya tersebut pun nampak jelas pada karyanya yang ditampilkan di Art Jakarta tahun ini. Sebuah keramik instalasi dengan menggunakan medium terakota (tembikar yang terbuat dari tanah liat) membentuk layaknya sinar cahaya yang memancar dari pusatnya. Dinamakan Solar Worship untuk mengekspresikan transendensi antara dunia spiritual dan material. Persis seperti apa yang diemban oleh Albert sendiri untuk menjadi cerminan pemikiran dan perilakunya dalam kehidupan.

Previous
Previous

Meliantha Muliawan: Memberi Nyawa pada Benda

Next
Next

Mencintai Negeri Lewat Tenun Ikat