Konten Kreasi Matcha Aneh Merajalela, Bukti Budaya Kuliner Kreatif Kita atau Mulai Berlebihan?
Baru-baru ini beredar video-video yang menunjukkan netizen bereksperimen dengan matcha, teh hijau tradisional dari Jepang yang kini semakin populer. Berawal dari kreasi yang mencoba melokalkan—seperti minuman, dessert, dan kue-kue khas seperti martabak—kini demi viralitas, muncul sajian seperti matcha dijadikan kuah mi, bahkan disantap bersama nasi dan lauk lele goreng.
Mungkin kalian ingat ketika boba hingga mozzarella mengalami fase serupa. Saat pertama kali tren dan mulai populer di Indonesia, jiwa-jiwa kreatif di masyarakat kita berlomba-lomba mencari cara baru untuk mengolah dan menyajikan bahan-bahan ini.
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Ada semangat untuk mendekatkan bahan-bahan asing ke lidah Indonesia melalui resep-resep yang memadukan makanan lokal dan internasional. Hasilnya pun positif: menambah variasi serta kekayaan kuliner tanah air. Matcha, yang sebelumnya tersegmentasi, kini menjadi makanan dan minuman mainstream yang dinikmati banyak kalangan.
Namun, ketika berpadu dengan budaya media sosial saat ini, sisi negatifnya mulai terlihat. Ada kecenderungan untuk sengaja berlebihan demi viralitas. Banyak pihak menyayangkan tren ini yang menormalisasi pemborosan makanan demi view, apalagi di tengah krisis bubuk teh hijau yang sebenarnya sedang terjadi.
Minuman Masa Kini, Kok Bisa Matcha Sepopuler Ini?
Matcha mulai mendunia di akhir 2010-an. Kaya nutrisi, matcha menjadi identik dengan tren kesehatan dan kebugaran yang populer di Los Angeles saat itu—diendorse oleh kreator konten wellness dan artis-artis seperti Kylie Jenner dan Bella Hadid.
Metode budidaya dan pengolahan matcha menjaga kandungan nutrisinya tetap utuh, tidak seperti teh biasa. Kandungan antioksidan dan klorofilnya tetap terjaga, sehingga terbukti baik untuk kesehatan jantung dan otak. Tak heran jika matcha jadi pilihan minuman di kafe bagi mereka yang menginginkan gaya hidup sehat.
Seiring dengan munculnya generasi muda Jakarta yang mengadopsi gaya hidup sehat—penuh salad, yoga, dan kini padel—matcha mulai banyak hadir di kafe-kafe Ibu Kota sejak awal 2020-an. Kini, bahkan bermunculan matcha house khusus yang menyajikan berbagai olahan teh hijau tersebut.
Seiring waktu, matcha mulai meninggalkan kesan eksotisnya. Dari yang awalnya hanya tersedia di tempat upscale, kini matcha sudah menjadi menu standar di kedai kopi, bahkan bisa ditemukan di starling (Starbucks keliling) dan gerai street food. Matcha yang dulunya tergolong elit, kini telah menjadi bagian dari keseharian anak muda.
Tentu saja, ini berkat kreasi masyarakat dalam pengolahan dan penyajiannya, sehingga bisa lebih sesuai dengan lidah dan kantong orang Indonesia. Kreativitas kuliner ini telah menciptakan siklus yang sama seperti yang terjadi pada boba dari Taiwan dan mozzarella dari Italia: menjadi jajanan baru khas Nusantara.
Konten Kekinian: Saat Kreatifitas Kuliner Bertemu Viralitas
Di saat yang sama, cara publik mengonsumsi konten makanan juga berubah. Di Indonesia, netizen semakin gemar menonton konten makanan yang sensasional—seperti ASMR, mukbang berlebihan, dan kreasi makanan absurd. Bintang-bintang utamanya sempat berganti dari boba, ke mozzarella, dan kini matcha.
Dengan latar belakang tersebut, lahirlah video-video viral yang menggunakan matcha secara tidak lazim, semata untuk mendapatkan reaksi dari netizen. Tren ini dikritik karena dianggap membiasakan sikap bermain-main dengan makanan, sekaligus menimbulkan food waste (sampah makanan) yang tak terlihat di balik kamera.
Tentu fenomena ini tidak terbatas pada matcha, dan kemungkinan akan terus berlanjut dengan bahan makanan lainnya yang kelak populer. Namun, khusus untuk matcha, kritik yang muncul semakin kuat karena saat ini tengah terjadi krisis pasokan bubuk teh hijau tersebut. Matcha hanya dapat dipanen pada musim semi di Jepang, dan karena permintaan yang melonjak, harga bubuk matcha asli pun ikut meroket.
Gatekeeping Matcha Bukan Solusi, Berhentikan Budaya Berlebihan Adalah Kuncinya
Walau sering terjadi di balik layar, olahan-olahan unik nan kreatif berperan penting dalam membawa bahan-bahan yang sebelumnya asing menjadi akrab dan diterima masyarakat luas. Prinsip ini harus terus dijaga, termasuk dalam konteks matcha. Matcha dan cita rasa umaminya hadir untuk semua.
Alih-alih melakukan gatekeeping terhadap bubuk matcha dan membatasi ekspresi kuliner masyarakat, akan lebih baik bila kita berhenti menormalisasi budaya berlebihan dalam konten makanan kekinian. Karena setelah masyarakat bosan dengan matcha, akan muncul lagi bahan baru di layar kaca kita. Mungkin sekarang adalah saat yang tepat untuk menghentikan siklus ini.