Slow Retail: Konsumsi Yang Berdampak Positif

Geometry-Slow_Retail-03.jpg

Generasi Milenial dan Gen Z dipercaya memiliki perhatian lebih besar pada dampak sosial dan lingkungan daripada generasi sebelum mereka. Dalam survei yang dilakukan oleh Vestiare Collective dan Boston Consulting Group, disebutkan bahwa lebih dari 70% responden generasi ini mengaku mencoba melakukan kegiatan belanja secara etis, serta 13% menyebutkan bahwa aspek sustainability atau keberlanjutan sangatlah penting. Dan dari mereka yang berbelanja secara etis, 57% mengatakan jika dampak terhadap lingkungan adalah perhatian utama mereka.

Less is more.  Dalam masa di mana perputaran informasi, tren, dan segala sesuatu dapat diperoleh secara cepat, menjadikan ‘kesederhanaan’ atau sesuatu yang tidak berlebih memiliki nilai lebih. Penelitian menunjukkan, manusia tidak senang membuat pilihan, dan dihadapkan pada sejumlah produk, membuat kita cenderung menjadi kurang puas akan pilihan yang dibuat.

Mungkin kita semua pernah mengalaminya. Kita mendapat informasi akan tren atau produk terbaru, lalu tanpa berpikir dua kali kita pergi mengunjungi toko tempat produk tersebut dijual dan membelinya. Bisa saja pengalaman berbelanja ini terasa menyenangkan, hingga lambat laun kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ada lebih banyak barang yang kita miliki yang sebenarnya tidak diperlukan, kondisi lingkungan yang memburuk, hingga isu sosial seperti kesejahteraan pekerja di rumah produksi atau pabrik yang tidak mendapat upah yang layak demi mengejar kuantitas dan harga produk yang terjangkau.

Laporan European Parliamentary Research Service tahun 2019 menemukan bahwa jumlah pakaian yang dibeli di Uni Eropa per orang telah meningkat sebesar 40% hanya dalam beberapa dekade, didorong oleh penurunan harga dan peningkatan kecepatan pengiriman mode ke konsumen. Disebutkan juga, pakaian menyumbang antara 2% hingga 10% dampak lingkungan dari total konsumsi Uni Eropa. Laporan tersebut menunjukkan bahwa jumlah rata-rata koleksi yang dirilis oleh perusahaan pakaian Eropa per tahun telah meningkat dari dua di tahun 2000 menjadi lima di tahun 2011. Hal ini membuat konsumen melihat item pakaian murah makin sebagai barang yang mudah rusak atau 'hampir sekali pakai', dan akan membuangnya setelah memakainya sebanyak tujuh atau delapan kali.

Sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan dampak pola konsumsi ini terhadap masalah sosial lingkungan, sejumlah brand pun merespon dengan menghadirkan produk yang menekankan pada kualitas dengan proses produksi yang berjalan secara lebih etis. Oleh karenanya, usia produk akan menjadi lebih panjang serta pergantian model terbaru pun menjadi lebih sedikit atau lambat dibandingkan sebelumnya. Inilah yang disebut dengan slow retail.

“Sedikit saja kegiatan konsumsi yang kita lakukan, maka secara tidak langsung kita telah melakukan ‘voting’ atau mendukung suatu standar dan sistem yang ada untuk produk tersebut sampai ke kita,” sebut Denica Flesch, sosok yang berada di balik brand pakaian SukkhaCitta. Melalui label yang ia dirikan, ia menghadirkan koleksi pakaian yang dibuat oleh para ibu pengrajin di beberapa desa yang diupah secara layak. Pakaian yang dibuat pun dalam proses produksinya sedemikian rupa diatur agar tidak memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Mulai dari penentuan model pakaian yang timeless, pemilihan bahan baku yang ramah lingkungan, penggunaan teknik pewarnaan alam, hingga detil seperti sisa kain dan benang hasil produksi pun dimanfaatkan kembali untuk membuat produk lainnya seperti bracelet, pouch, dan label tag. Melalui tagline #MadeRight yang diusungnya, SukkhaCitta menerapkan standar akan akan tiga pilar yang menurut pengamatannya merupakan yang paling bermasalah di industri kerajinan, yaitu penyediaan upah yang layak, dampak yang baik bagi lingkungan berkelanjutan, serta keberlanjutan budaya yang dilakukan, diajarkan, dan dikembangkan oleh usaha yang dimiliki melalui pengrajinnya. “Terlepas dari brand yang saya bangun, #MadeRight sebenarnya adalah sebuah gerakan yang coba kami suarakan, sebagai ajakan baik untuk produsen maupun konsumen, akan suatu praktik produksi industri kerajinan yang etis,” jelas Denica.

Denica dan beberapa pengrajin untuk SukkhaCitta. Photo Courtesy of SukkhaCitta.

Denica dan beberapa pengrajin untuk SukkhaCitta. Photo Courtesy of SukkhaCitta.

Pewarnaan alami menggunakan daun indigofera. Photo courtesy of SukkhaCitta.

Pewarnaan alami menggunakan daun indigofera. Photo courtesy of SukkhaCitta.

Di tengah situasi pandemi, sektor ritel, khususnya di industri mode, pun cukup mengalami keterpurukan.  Dalam kondisi di mana ekonomi melambat dan orang diharapkan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, preferensi akan pilihan pakaian pun beralih ke item yang dapat digunakan untuk waktu yang lebih lama. Penelitian yang dilakukan oleh Royal Society for the encouragement of Arts, Manufacturers and Commerce (RSA) juga menemukan bahwa selama pandemi, 28% orang memilih untuk mendaur ulang atau lebih banyak menggunakan kembali pakaian yang sudah dimiliki dari sebelumnya, dan sebanyak 35% responden wanita berniat untuk membeli lebih sedikit pakaian di masa depan.  

Depop - aplikasi belanja peer-to-peer di mana konsumen dapat membeli barang bekas satu sama lain – melaporkan bahwa mereka telah mengalami peningkatan traffic sebesar 90% di masa pandemi. Sebaliknya, penjualan ritel di Inggris turun sebanyak 18,1% di bulan yang sama. Dari riset yang dilakukan RSA mengenai masa depan industri mode pun, 50% responden berpikir bahwa brand atau industri yang ada perlu melakukan apa pun untuk menjadi lebih ramah lingkungan.

Secara umum, mungkin biaya yang dikeluarkan untuk membuat produk yang ramah lingkungan dan etikal dalam proses produksinya cenderung lebih tinggi daripada produk biasa. Sehingga, harga jual produk pun biasanya juga agak tinggi. Namun, dalam riset yang dilakukan oleh Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN, 81% konsumen ASEAN yang mengaku menjalani conscious lifestyle mengatakan bahwa mereka bersedia membayar lebih untuk produk yang memiliki dampak postif terhadap lingkungan dan masalah sosial. Artinya, konsumen telah memiliki kesadaran akan biaya yang perlu mereka keluarkan akan pilihan konsumsi mereka.

81% konsumen ASEAN yang mengaku menjalani conscious lifestyle mengatakan bahwa mereka bersedia membayar lebih untuk produk yang memiliki dampak postif terhadap lingkungan dan masalah sosial.

Masa depan industri mode dan ritel usai pandemi memang masih menjadi perdebatan. Akan tetapi, satu yang pasti, terdapat keinginan kuat dari konsumen untuk perubahan di dalam industri ritel setelah pandemi agar lebih memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan. Mengutip ucapan Anna Wintour pada CNBC, “Pandemi ini memberi kesempatan bagi semua orang orang untuk memperlambat, menghasilkan lebih sedikit, dan benar-benar membuat dunia jatuh cinta pada kreativitas.

Previous
Previous

Perabotan Penuh Estetika

Next
Next

Memonetisasi Karya Seni