Pengaruhi Pikiran Pelanggan Agar Bisnis Laris Manis

Geometry-Neuromarketing.png

Untuk menjalankan bisnis yang berkelanjutan, dibutuhkan strategi marketing yang ampuh untuk menarik perhatian calon pelanggan. Neuromarketing atau pemasaran neuro bisa jadi salah satu pilihan strategi yang melancarkan penjualan. Secara sederhana, neuromarketing atau pemasaran neuro menggabungkan ilmu neurosains dan pemasaran yang berfokus pada analisis pengambilan keputusan calon pelanggan untuk membeli suatu produk. Faktanya, manusia mengambil sebuah keputusan berdasarkan berbagai preferensi personal. 

Umumnya dalam mengambil keputusan saat hendak membeli seseorang akan mempertimbangkan faktor manfaat dan motivasi. Contohnya dalam membeli kopi. Biasanya, orang membeli kopi karena melihat manfaatnya dapat membuatnya tidak mengantuk. Maka, ketika sedang mengantuk ia akan mencari kopi. Kalau tidak mengantuk, ia tidak akan beli kopi. Sementara itu faktor motivasi biasanya berhubungan dengan selera dan harga. Misalnya ada orang yang suka dengan kopi susu dan ada yang suka kopi hitam. Tapi seleranya bisa berubah jika terdapat motivasi lain dalam pembelian. Contohnya harga kopi susu yang lebih mahal daripada kopi hitam. Saat sedang tidak punya uang, meski bukan favoritnya, seseorang akan memilih rasa kopi yang tidak terlalu disukai.

Umumnya dalam mengambil keputusan saat hendak membeli seseorang akan mempertimbangkan faktor manfaat dan motivasi.

Akan tetapi, pengambilan keputusan dapat menjadi sangat rumit jika berbagai macam faktor bercampur. Oleh sebab itu, neuromarketing sebenarnya berperan besar dalam analisis pasar karena pemikiran yang terjadi di kepala seseorang saat ingin membeli sesuatu bisa amat berbeda tergantung motivasinya. Si A bisa jadi membeli kopi karena mengantuk, sedangkan si B membeli kopi mahal karena ingin menunjukkan status sosial. 

Lalu, bagaimana kita bisa menerapkan dasar-dasar ilmu neuromarketing dalam menjajakan produk?

Menurut Trisa Triandesa, yang memelajari ilmu Cognitive Neuroscience dan Neuropsychology, sejak zaman purbakala manusia memiliki sisi impulsif yang tinggi ketika berada dalam situasi tidak mau kehilangan momen. Dulu, nenek moyang kita harus berburu untuk mendapatkan makanan jadi mereka betul-betul memanfaatkan momen. Saat melihat ada binatang buruan, harus cepat-cepat dibunuh untuk makan. Mengetahui ini, para pebisnis dapat menyentuh sisi “primitif” masyarakat dengan membuat gimmick yang membuat mereka mengalami FOMO (Fear Of Missing Out). Promosi yang memburu-buru dengan adanya batasan waktu menyentuh sisi primitif masyarakat untuk memutuskan sesuatu secara impulsif karena tidak mau kehilangan momen.

Manusia memiliki sisi impulsif yang tinggi ketika berada dalam situasi tidak mau kehilangan momen.

Di samping itu, ada juga mengenai strategi placebo marketing yaitu strategi pemasaran yang memengaruhi keputusan seseorang dalam membeli karena memberikan “ekspektasi” yang diharapkan. Perlu kita ketahui bahwa berbagai penelitian menunjukan bahwa manusia sebenarnya tidak rasional. Terdapat sebuah studi yang mengumpulkan sekelompok orang untuk mencoba blind tasting dua merek minuman yaitu Pepsi dan Coca Cola. Kedua gelas sebenarnya diisi dengan Coca Cola. Tapi saat diberitahu salah satunya adalah Pepsi, banyak orang yang memilih gelas dengan “label” Coca Cola. Bagian otak bagian depan manusia menyimpan keyakinan yang dipercayainya sehingga keyakinan tersebut memengaruhi keputusan (yang seharusnya) rasional. Contoh lain adalah sebuah studi wine tasting. Seperti kita tahu, wine terkenal sebagai produk tersier berarti produk mewah atau mahal. Ketika sekelompok orang mencoba dua wine dengan harga berbeda, mereka memiliki kecenderungan untuk menyukai wine dengan harga yang lebih mahal. Itulah kepercayaan yang mereka miliki: wine yang mahal lebih enak. Padahal wine tersebut memiliki kualitas yang sama dengan wine lainnya. 

Dengan melancarkan strategi placebo marketing, pebisnis dapat memengaruhi keputusan calon konsumen dengan memberikan ekspektasi berdasarkan ekspektasi yang dimiliki. Mulai dari desain dan warna kemasan, hingga nama merek produk bisa membentuk persepsi konsumen. Semisal produk perbankan prioritas dengan kartu yang didesain mewah dan memiliki aksen warna emas. Menghadirkan produk semacam ini dapat memengaruhi keputusannya untuk menunjukkan status sosial. Padahal layanan perbankan yang diberikan intinya sama: untuk menabung. Sebenarnya dalam keseharian sudah banyak contoh neuromarketing yang bisa kita temukan. Mulai dari penggunaan angka yang berakhir 999 untuk memberi ilusi harga lebih murah, hingga penempatan produk pada tingkat eye level agar lebih mudah diambil konsumen. 

Previous
Previous

Kerja Empat Hari Seminggu (Katanya) Bisa Tingkatkan Produktivitas

Next
Next

Stop Pakai Emoji 😂 – Kalau Tidak Mau Dibilang Nggak Keren