Dapat Komplain dari Konsumen, Harus Apa?

IMG_0105.JPG

Pembeli adalah raja. Pernah mendengar pernyataan ini? Jika dalam dunia bisnis pernyataan ini benar adanya, lalu bagaimana kalau tiba-tiba seorang pembeli memberikan komplain pada produk atau servis yang diberikan oleh bisnis kamu? Apakah komplain mereka selalu benar dan kamu harus mengikuti semua ekspektasinya? 

Faktanya, komplain tidak mungkin bisa dihindari. Setiap bisnis pasti akan mendapatkannya. Entah karena mereka punya ekspektasi berbeda dengan produk atau servis yang diberikan atau memang ada kesalahan dari pihak penjual yang tidak sengaja dilakukan. Tapi, kuncinya adalah bukan menghindari komplain, melainkan mengetahui solusi untuk menyelesaikan masalah. Setiap pemimpin juga punya caranya masing-masing untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah. Tidak ada yang paling benar atau paling salah, yang ada hanyalah belajar dari berbagai pengalaman dan mencoba untuk memperbaiki kesalahan di masa depan.

Marvin Sulistio, CMO Traxist

Geometry-WWLD2-02.jpg

Komplain adalah hal yang wajar didapatkan. Apalagi ketika atensi bisnis meningkat. Pertama, tekankan apresiasi atas komplain yang masuk pada pelanggan. Lalu, cek kembali fakta di lapangan dan segera evaluasi. Jika ditemukan kesalahan, langsung lakukan perbaikan dan permohonan maaf kepada pelanggan. Dikarenakan bisnis jasa travel sangat bergantung pada respon langsung dan kepercayaan, maka etika dan mengembalikan kepercayaan, serta kecepatan perbaikan adalah prioritas.

Biasanya, Traxist sering mendapatkan komplain yang berupa komparasi jasa dengan travel lain saat berada di lokasi. Contohnya perbandingan kualitas restoran atau fleksibilitas jadwal yang diatur saat berada di destinasi. Apalagi ketika berada di lokasi yang sama. Namun hal itu wajar, setiap travel agency memiliki prioritas jadwal dan alasan mempertimbangkan A dan B menjadi pilihan tujuan. Misalnya tentang kenapa waktu makan dipersingkat agar bisa mengejar waktu naik balon udara, dan sebagainya.

Sejauh ini, komplain paling berat yang pernah dilayangkan adalah tentang ketidakpuasan jasa sepihak dan repetitif oleh satu dua orang peserta. Sementara peserta lain tidak ada komplain. Kami pun mencoba menyelesaikannya dengan kepala dingin. Utamanya, ini dilakukan oleh trip leader kami. Tetap utamakan apresiasi dan etika permintaan maaf dahulu kepada peserta, sambil cross check celah komplain tersebut. Ketika tidak mengutamakan ego, semua permasalahan di dunia jasa bisa diselesaikan dengan kepala dingin.

Bisnis jasa travel sangat bergantung pada respon langsung dan kepercayaan, maka etika dan mengembalikan kepercayaan, serta kecepatan perbaikan adalah prioritas.


Rama Dauhan, Creative Director Rama Dauhan Studio

Geometry-WWLD2-03.jpg

Dunia fashion tidak luput dari komplain. Jika ada, tentu saja yang pertama dilakukan adalah memberikan permintaan maaf, menerima komplain dengan tenang lalu mencoba menelaah di mana letak kesalahan, dan kenapa itu bisa terjadi. Dalam bisnis, kami bekerja sebagai tim. Jadi, tentu tidak semata karena kesalahan satu orang. Akan tetapi, saya menilai sebuah komplain sebagai pembelajaran untuk seluruh tim. 

Komplain yang sering kami dapatkan biasanya berhubungan dengan urusan pengiriman atau kemasan yang tidak sempurna. Sementara itu, komplain yang paling berat pernah didapatkan adalah tentang baju yang diterima tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Cara kami menyelesaikannya adalah segera menyesuaikan dengan apa yang menurut klien tidak sempurna. Lembur pun kami terima bersama-sama untuk cepat-cepat menyelesaikan masalah. Untungnya, semua cepat selesai dan tidak ada masalah lanjutan setelah itu. 

Pernah juga kami dikomplain oleh seseorang yang langsung publikasi di media sosial tanpa bermediasi dahulu dengan kami. Saya sebagai leader tentu maju dan menghubungi orang tersebut. Pertama meminta maaf, mendengarkan sebenarnya apa yang menjadi keluhannya, kemudian menjelaskan dan memperbaiki. Akhirnya, semua bisa diselesaikan dengan baik. Hanya yang saya sayangkan adalah langkahnya yang harus langsung publikasi di media sosial dan menjatuhkan nama baik kami di media sosial. Bahkan ada beberapa keluhan yang disampaikan lewat media sosial tersebut tidak kami lakukan. Sebenarnya, kami juga tidak ambil pusing selama kami menyadari di mana kesalahan dan bersedia memperbaiki, itu sudah cukup.

Dalam bisnis, kami bekerja sebagai tim. Jadi, tentu tidak semata karena kesalahan satu orang. Saya menilai sebuah komplain sebagai pembelajaran untuk seluruh tim. 

Cath Halim, Co-founder Kisaku

Geometry-WWLD2-04.jpg

Dalam bisnis kuliner, seringkali pebisnis mendapatkan keluhan seputar rasa. Begitu juga yang umumnya terjadi di bisnis kuliner saya. Rasa sangatlah subyektif. Kopi yang menurut saya pahit mungkin untuk orang lain tidak. Contohnya, waktu itu pernah ada seorang pelanggan yang merasa rasa kopi yang diterima tidak sesuai dengan ekspektasinya. Ia memesan kopi long black yang menurutnya rasa kopi yang dicicipi cukup pahit. Padahal sebenarnya biji kopi yang kami gunakan seharusnya tidak menghasilkan rasa yang terlalu pahit. Jika mendapatkan keluhan soal rasa semacam ini, biasanya kami akan memberikan product knowledge terlebih dahulu kemudian mengarahkan untuk mencoba produk yang lebih sesuai dengan seleranya. Untuk kasus tadi, misalnya, kami akan menjelaskan kalau produk ini dibuat tanpa tambahan gula. Jika pelanggan ingin menikmati kopi yang manis mungkin ia bisa mencoba menu kopi gula aren.

Pada dasarnya, saya kurang setuju dengan pernyataan “pembeli adalah raja” yang diartikan bahwa pembeli selalu benar. Terkadang, bisa saja keluhan dipengaruhi oleh suasana hati pelanggan yang saat itu sedang kurang bagus. Jika begini, apapun yang kami lakukan akan selalu salah. Yang lebih penting untuk dilakukan adalah tidak meresponnya dengan emosi juga. Kalau responnya tidak tepat, itulah yang menjadi kesalahan kami. Sebagai pelaku bisnis, saya percaya bahwa empati pada pelanggan sangatlah penting. Mungkin pelanggan datang ke restoran saat perasaannya kurang baik. Maka, saya lebih mementingkan bagaimana staf dapat memiliki empati pada pelanggan: mendengar dan menjawab kebutuhan mereka. Mencari cara untuk membuat mereka merasa lebih baik. 

Saya lebih mementingkan bagaimana staf dapat memiliki empati pada pelanggan: mendengar dan menjawab kebutuhan mereka. Mencari cara untuk membuat mereka merasa lebih baik. 

Beruntungnya, sejauh ini kami tidak terlalu banyak mendapatkan komplain dari pelanggan karena semua staf, khususnya para barista, sudah dilatih dengan: (1) mengenal karakter diri sendiri, (2) mengikuti pelatihan customer service agar bisa punya kemampuan untuk menghadapi karakter pelanggan yang berbeda-beda. Intinya, komunikasi yang baik sangatlah krusial untuk menjaga relasi dengan pelanggan. Kami mungkin tidak bisa membuat semua pelanggan puas. Tapi kami bisa melancarkan komunikasi yang baik dengan menerima kritik, diskusi bersama, merefleksikan, dan akhirnya mencari solusi yang baik bersama. 

Komunikasi yang baik sangatlah krusial untuk menjaga relasi dengan pelanggan.

Walaupun saya kurang setuju dengan pernyataan “pembeli adalah raja”, saya meyakini customer feedback sangatlah penting. Kami pun sering menjaga percakapan dengan pelanggan lewat media sosial. Di Instagram, misalnya, kami menjaga komunikasi dengan pelanggan lewat DM agar lebih personal. Kami pun tidak pernah takut untuk mendapatkan kritik. Bahkan sebenarnya, masukan dari pelanggan sangatlah berharga untuk kemajuan bisnis. 

Melalui segmen What Would Leaders Do, Geometry mengeksplorasi pemikiran strategis para pemimpin industri terkait suatu isu di dunia bisnis kreatif. Temukan ide serta inspirasi di balik pemikiran para industry expert lainnya di sini

Previous
Previous

UMKM Siap-Siap Diberdayakan Oleh Grab dan Emtek!

Next
Next

Kerja Empat Hari Seminggu (Katanya) Bisa Tingkatkan Produktivitas