Nostalgia Dalam Karya Cetak

cover.jpg

Pada saat kita bergerak maju ada hal-hal yang sudah banyak kita tinggalkan. Jejak-jejak sejarah yang tertoreh dengan tinta kini berada di dunia maya. Tak lagi tertera dalam kertas namun di layar kaca. Para penerbit buku dan majalah pun bergelimpangan. Lama kelamaan jumlahnya merosot karena tidak ada lagi kepercayaan pada publikasi media cetak. Namun uniknya di tengah maraknya situs online yang memudahkan masyarakat untuk mengakses informasi masih ada yang percaya akan penerbitan karya cetak.

Adalah Binatang Press yang mengusung penerbitan karya visual dan seni dengan menggunakan mesin Risograph. Tentu saja hal ini menjadi fenomena tersendiri di tengah hiruk pikuk Jakarta, apalagi saat ini sudah hampir tidak ada yang menggunakan mesin Risograph. Dulu mesin ini memang terkenal untuk mencetak komik stensil atau tabloid, namun perkembangan yang canggih dengan memunculkan digital printing yang dapat menghasilkan lebih banyak dan lebih cepat mesin ini pun tergeser. Sehingga secara tidak langsung setiap helai kertas yang dicetak menggunakan mesin Risograph ini memunculkan nostalgia dan pesan untuk tidak melupakan masa lalu atau lini masa kehidupan penerbitan di dalam negeri.

Buku “Ode to Fried Chicken” karya Fran Hakim yang diterbitkan oleh Binatang Press.

Buku “Ode to Fried Chicken” karya Fran Hakim yang diterbitkan oleh Binatang Press.

Sisi menarik yang dilahirkan Binatang Press tidak hanya berhenti di sana. Pemilihan tema kurasi yang diterapkan pun terbilang berbeda dengan bisnis penerbitan lainnya. Fokusnya pada tema-tema subculture dan budaya visual. Sehingga bisa ditemukan karya-karya yang diterbitkan begitu menarik mata dengan desain dan ilustrasi nan menggugah. Eksplorasi tersebut pun sepertinya pengaruh dari latar belakang sang pendiri, Andreas Junus dan Irawandhani Kamarga. Pasangan suami istri ini memang datang dari industri seni di mana mereka juga memiliki bisnis kreatif konsultan, The 1984. Dibarengi dengan kegemaran mereka membaca buku, Irawandhani Kamarga atau yang kerap dipanggil Wanda mengaku bahwa Binatang Press lahir dari keinginan mereka memproduksi buku-buku dengan layout dan kualitas produksi yang bagus. Sehingga untuk menjaga arahan setiap buku yang diterbitkan diintegrasikan dengan napas kreatif konsultan yang mereka dirikan.

2.jpg
3.jpg

Sedangkan saat disinggung soal penggunaan mesin Risograph, Wanda menyatakan bahwa penggunaannya berkaitan dengan momentum. “Dari dulu kami memang sudah sangat suka mengulik berbagai metode printing. Lalu kami menemukan mesin Risograph ini dan langsung sepakat untuk memberdayakannya sebagai aset sebagai aset untuk bisnis penerbitan (yang ketika itu) sedang kami kembangkan”, jelasnya. Tentu saja keunikan ini menjadi nilai plus tersendiri untuk Binatang Press Selain karena buku-buku terbitan mereka menelurkan wujud fisik. Artinya para pembaca dapat mengalami berbagai emosi ketika melihat dan menyentuh wujud fisik buku-buku tersebut.

Wanda pun meneruskan, “Selain itu, kami memperhatikan detail eksekusi desain dan cetak dari setiap terbitan kami. Dari tema, kami juga sangat selektif dan fokus pada tema-tema subculture dan budaya visual di Indonesia. Jujur untuk promosi sebenarnya tim kami kecil sekali, sehingga tidak terlalu gencar memasarkan di masyarakat luas. Sejauh ini kami mengembangkan jaringan lewat sosial media, Instagram, dan suka mengikuti acara-acara zine, art book fair dan printmaking.”

Kemudian berbicara tentang pasar atau sasaran target memang Binatang Press terbilang cukup segmented. Hanya mereka yang dapat mengapresiasi tinggi seni visual saja mungkin yang mau menengok untuk membalik lembar halaman zine dan buku terbitan Binatang Press. “Dari segi harga memang tidak murah karena banyak usaha dan unsur kerajinan tangan yang dikerahkan dalam mewujudkan setiap hasil karya terbitan kami. Oleh sebab itu, sebenarnya sasaran utama kami adalah orang-orang yang sudah bekerja dan yang memiliki minat di seni visual itu sendiri”, terang Wanda lagi.

Sejak didirikannya Binatang Press berkomitmen untuk menanamkan filosofi dan jiwa penerbitan independen. Yang terpenting untuk bisnis kreatif mereka adalah mempertahankan kualitas setiap karya itu sendiri. Sehingga para klien yang mempercayai mereka untuk menerbitkan sudah berasal dari proses kurasi. “Sebenarnya bukan masalah siapa yang membuatnya, tapi lebih karya apa yang mereka bawa. Kami sangat menghargai karya dari para seniman dan penulis yang sifatnya jujur dalam menyuarakan observasi, baik terhadap pengalaman pribadi maupun local surrounding mereka”, Wanda melengkapi.

Previous
Previous

Menyingkap Keindahan Di Deretan Ruko

Next
Next

Art Jakarta Kembali Dengan Nafas Segar