Mengenal Bisnis Keramik Buatan Tangan

processed_Geometry-Pottery_Business.jpg

Keramik buatan tangan ada di mana-mana. Bila kita mendatangi restoran, kafe, atau toko dengan desain interior yang estetis, umum kita menjumpai keramik sebagai bagian dari perabot, alat makan, hiasan, hingga elemen ruangan lainnya. Tidak jarang pula media gaya hidup menampilkan keramik dengan bentuk yang artistik sebagai bagian dari tatanan foto editorial mereka. Keberadaan keramik buatan tangan karya pengrajin atau brand lokal di kehidupan sehari-hari kini kian dekat, hingga membuatnya memiliki daya tarik tersendiri bagi orang-orang untuk berkecimpung menekuni dunia keramik, mulai dari sekedar hobi, pelepas rasa jenuh, hingga menjadikannya sebagai bisnis. 

Ayu Larasati, seorang seniman keramik, mengawali karirnya di bidang ini sejak tahun 2012. Saat itu, sebab kejenuhan yang dialaminya di kantor, Ayu pun memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya, membuat studio  sendiri, dan menekuni dunia keramik. Awalnya, ia sama sekali tidak memiliki bayangan mengenai bentuk studio keramik yang ia buat, akankah berfokus pada pengerjaan produk klien, membuat produk sendiri, lebih ke arah pengajaran keramik, atau menjadikan sebagai penyaluran hobi saja. Bagaimana akhirnya kini keramik buatannya telah memiliki beragam jenis produk, berkolaborasi dengan banyak brand lain, dan memiliki toko sendiri, perjalanan ini terjadi melalui satu per satu langkah yang dilaluinya dengan terbuka pada banyak posibilitas.

“Dulu sewaktu pertama kali membuat keramik, saya berada di Toronto. Saya menggunakan banyak tanah liat dan glasir dari supplier besar yang umumnya menjual di Amerika dan Eropa. Mereka memiliki banyak opsi tanah, yang sudah memiliki spesialisasinya sendiri. Misalnya untuk teknik slab, ada tanah yang memang diperuntukan untuk ini, atau kita ingin menggunakan teknik throwing dalam membuat keramik, ada jenis tanah lain yang bisa kita pilih,” jelas Ayu memulai kisahnya. “Karena sudah ada spesialisasinya, maka biasanya hasil jadi keramik yang kita buat kurang lebih sama dengan apa yang kita sketch atau sudah rencanakan.”

Ayu Larasati di dalam workshop keramiknya. Photo courtesy of Ayu Larasati

Ayu Larasati di dalam workshop keramiknya. Photo courtesy of Ayu Larasati

Beberapa keramik karya Ayu Larasati. Photo courtesy of Ayu Larasati

Beberapa keramik karya Ayu Larasati. Photo courtesy of Ayu Larasati

Namun, saat ia pulang ke Indonesia, Ayu mendapati bila opsi jenis tanah di dalam negeri terbatas, hanya satu jenis tanah liat saja, dengan yang paling mungkin membedakan adalah daerah asal perolehannya. “Saya menggunakan tanah dari Sukabumi. Karakter tanahnya cenderung gelap sekali. Dulu, di tahun-tahun awal saya membuat keramik, orang-orang berkomentar mengapa keramik saya terlihat gelap dan cenderung ‘kotor’, dibandingkan dengan desain keramik bergaya Skandinavia yang secara penampilan ‘bersih’ dan terang, serta saat itu populer,” ujar Ayu melanjutkan. “Namun, makin kesini orang sudah mengenal berbagai gaya keramik lainnya, seperti yang berasal dari Jepang maupun lokal, sehingga tidak ada lagi pertanyaan terkait rona warna. Dulu saya sempat mencoba tanah dari Kalimantan yang berwarna lebih terang dan putih. Tapi, teksturnya seperti karet, sehingga saya merasa kurang nyaman bekerja dengannya karena agak kurang enak dibentuk . Saya pun mencoba tanah dari Thailand, yang secara tekstur lebih baik dibanding Kalimantan.”

Dengan terbatasnya jenis tanah di dalam negeri, menurut Ayu hal ini justru menarik karena belum tentu hasil akhir keramik menjadi seperti apa yang sebelumnya telah direncanakan. “Banyak trial and error. Alih-alih ‘design like paper’, ini lebih ke ‘backward engineering’. Jadi kita yang berusaha memahami tanah yang akan kita bentuk, dan bekerja sesuai kemampuannya. Bila ternyata apa yang kita desain tidak memungkinkan oleh tanah itu lakukan, ya kita sesuaikan,” terang Ayu. “Di Kanada, sudah terdapat tim riset untuk tanah ini yang memang melakukan penelitian serta desain agar tanah lebih mudah dibentuk. Jadi seperti diberi tambahan kaolin dan bahan lainnya sesuai tujuan peruntukannya. Apakah untuk throwing, hand building, atau teknik lainnya. Di sana juga variasi untuk glasir dan finishing lebih banyak dibanding di sini. Di Indonesia sendiri, kita belum ada tim yang melakukan riset dan desain di bidang ini.” Akan tetapi, menurut Ayu walaupun dengan adanya banyak jenis tanah dengan spesialisasi khusus memudahkan seniman bekerja, khususnya untuk mereka yang pemula, namun karena supplier besar ini pun memasok ke banyak negara, hal ini membuat karakter keramik yang ditemui di Amerika dan Eropa menjadi cenderung mirip. “You can’t distinguish it. Kalau di Jepang, keramik antar daerah dapat dibedakan atau memiliki ciri khas karena mereka mengambil tanah yang ada di sekitar mereka. Sama kasusnya seperti batik ala Pekalongan, Yogya, dan lain sebagainya yang memiliki ciri khas. Jadi untuk seniman, dengan terbatasnya pilihan tanah lokal, hal ini bisa menguntungkan juga,” imbuhnya.

Selain itu, Ayu mengungkapkan jenis tungku yang digunakan pun akan mempengaruhi hasil jadi akhir. Saat dirinya di Toronto, ia menggunakan tungku listrik, yang secara penggunaan relatif lebih mudah karena suhu temperatur yang dihasilkan lebih merata. Sehingga, hasil pembakaran antar satu keramik dengan lainnya kurang lebih akan sama dan lebih terlihat bersih. Namun, di Indonesia, daya yang diperlukan untuk tungku listrik belum dimungkinkan. Oleh karenanya tungku gas lebih banyak digunakan oleh pengrajin yang secara biaya pun lebih terjangkau. Karena bermain dengan api, pembakaran menggunakan tungku gas pun akan membuat hasil akhir produk antara satu sama lainnya belum tentu sama. Selain itu, pembakaran dengan tungku gas memungkinkan kita lebih berkreasi serta bermain dengan udara (oksigen) dan api, yang membuat hasil jadi menjadi lebih artistik. Oleh sebab itu, tungku gas lebih dipilih oleh seniman karena memungkinkan mereka bereksplorasi dibandingkan tungku listrik yang cenderung ‘membosankan’.

“Memulai bisnis keramik bisa murah atau mahal sekali,” ujar Ayu. “Tungku itu bisa seharga 20-jutaan, dan wheel yang bagus seharga 20-50 juta. Tapi kalau kita tidak memiliki anggaran untuk itu, kita bisa memulai membuat keramik dengan teknik handbuilding yang tanpa perlu meja putar, lalu menitip bakar ke workshop lain. Kalau kita memiliki sketch desain lalu melempar ke tukang untuk mengerjakan, juga sebenarnya sah-sah saja. Namun, kalau kita tahu cara membuatnya, kita bisa lebih inovatif, termotivasi, dan brand yang kita buat menjadi lebih cepat berkembang. Karena bila ada yang harus diperbaiki, kita bisa ‘membongkarnya’ dari dasar, tidak sekedar di permukaan.”

Fransisca Puspitasari, sosok di balik brand Kaloka Pottery, menyebutkan sebelum masuk ke bisnis keramik, kita perlu tahu tujuan kita membuat bisnis ini, teknik pembuatan, dan mengukur kapasitas diri dalam kaitannya dengan modal. Ia menyebutnya, saat mulai membuat keramik, ia mengatur investasi alat secara bertahap. “Dari banyaknya variasi alat, tidak perlu pilih yang terbaik atau yang termahal, cukup pilih yang sesuai kebutuhan saja,” sebut perempuan yang akrab disapa Kika ini.

Fransisca Puspitasari di tengah workshop Kaloka Pottery. Photo courtesy of Kaloka Pottery

Fransisca Puspitasari di tengah workshop Kaloka Pottery. Photo courtesy of Kaloka Pottery

 

“Dari banyaknya variasi alat, tidak perlu pilih yang terbaik atau yang termahal, cukup pilih yang sesuai kebutuhan saja.”

Hasil jadi keramik kadangkala tidak terprediksi, mulai dari kemungkinan retak, penyusutan, warna yang berbeda, dan lain sebagainya. Namun, Kika menjelaskan, hal ini bukan berarti lantas kita tidak bisa mengembangkan produk yang ada semaksimal mungkin. Di Kaloka Pottery sendiri, bila ada produk yang tidak sesuai standar yang ditetapkan, dapat dialihfungsikan untuk keperluan yang lain. Misalnya, sebagai pot tanaman, yang hasil penjualannya lantas disumbangkan untuk beberapa proyek lingkungan.

“Dalam produksinya, Kaloka Pottery berusaha untuk memberdayakan masyarakat sekitar. Kami memiliki beberapa pengrajin di desa-desa Yogyakarta yang mayoritas perempuan. Mereka melakukan proses pembentukan produk Kaloka tanpa meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu, nenek, petani, dan lain sebagainya. Setelah itu, proses selanjutnya dikerjakan di studio kami,” terang Kika. “Saat bekerjasama dengan para pengrajin, hal yang terpenting adalah komunikasi. Dengan komunikasi yang baik, tanpa perlu terkesan memaksakan, akan mempermudah koordinasi sehingga bila ada pesanan dalam jumlah besar dapat dikerjakan tepat waktu sesuai standar kualitas.”

Photo courtesy of Kaloka Pottery

Photo courtesy of Kaloka Pottery

Saat ini, konsumen sudah sangat terbuka dengan keramik buatan tangan karya pengrajin atau brand lokal dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Keramik buatan tangan telah memiliki pasarnya sendiri di tengah-tengah masyarakat.  “Pengembangan produk keramik bisa banyak sekali. Bisa tableware, elemen dekoratif, dan lain sebagainya. Menurut saya, saat kita ingin mengembangkan produk, sesuaikan dengan tujuan awal brand dan DNA yang kita tetapkan,” lanjut Kika kembali. “Dari awal, Kaloka Pottery telah memilih bersinergi dengan tren dunia, seperti pemilihan bentuk dan warna, tapi tanpa meninggalkan sisi fungsi dan teknik yang digunakan, yaitu buatan tangan.” Memiliki tujuan penting untuk kita dapat fokus berkarya, maju, memberikan yang terbaik untuk konsumen, dan tentunya memberdayakan masyarakat di sekitar kita.

Previous
Previous

Mengatur Waktu Bekerja Di Rumah

Next
Next

Berpacu Dalam Kolaborasi (Bagian Kedua)