Berpacu Dalam Kolaborasi (Bagian Kedua)

Geometry-Collaboration2-Cover.jpg

Dari segala teori serta contoh yang sudah terpampang di masyarakat, sebenarnya tidak hanya ada satu cara tertentu yang dapat memastikan kolaborasi brand sukses di pasaran. Melainkan banyak cara. Pada dasarnya setiap brand harus berani mengambil risiko untuk melakukan riset dan pengembangan agar tahu mana yang cocok dan tidak untuk mereka. Sehingga akhirnya di setiap kolaborasi mereka pun bisa menentukan alasannya masing-masing mengapa tertarik untuk membuat sesuatu yang baru bersama brand lain.

Menurut Anton Wirjono, Founder The Goods Dept, kolaborasi antar brand menjadi penting karena dapat produk bisa mempunyai arti lebih. “Banyak orang zaman sekarang memilih untuk membeli produk yang ada artinya atau yang ada ceritanya. Jadi sebuah produk bisa lebih berarti jika berasal dari dua brand yang berbeda atau dua individu yang punya cerita berbeda.” Sedangkan bagi para Co-Founder, SAGE, label sepatu lokal, Hamzah Dwiputra dan Varian Erwansa, kolaborasi antar brand jadi sangat penting dalam rangka menjangkau pasar yang lebih luas. Mereka menyebutkan bahwa melalui cross marketing SAGE dapat dipertimbangkan menjadi brand yang fleksibel dan memiliki konsep yang kuat.

Berdasarkan hasil diskusi dengan kedua brand (The Goods Dept dan SAGE), kolaborasi antar brand juga disinyalir menjadi salah satu strategi marketing yang cukup ampuh. Terlebih untuk The Goods Dept di mana kurasi dan kolaborasi kreatif memang sudah menjadi DNA brand yang merumahkan berbagai jenis produk mulai dari pakaian hingga aksesoris ini. “Kolaborasi The Goods Dept pertama yang berasal dari brand fashion melibatkan Universitas Indonesia untuk meluncurkan merchandise berlisensi Universitas Indonesia di salah satu toko The Goods Dept. 

Image courtesy of The Goods Dept

Image courtesy of The Goods Dept

Dalam menentukan pihak kolaborator, The Goods Dept biasanya melihat dari sisi efektivitas yang berporos pada komunitas di mana produk yang akan diusung bersama harus memiliki relevansi terhadap komunitas tertentu atau masyarakat luas. Relevansi antar brand dirasa tidak selalu menjadi alasan utama untuk melakukan kolaborasi. Sedikit berbeda dengan brand sepatu SAGE yang menentukan kolaborator dari nilai-nilai atau core value yang dimilikinya,  “Yang utama dalam kolaborasi bagi kami adalah untuk menyampaikan pesan dan nilai-nilai persatuan antara kami dan brand yang berkolaborasi. Sehingga kami mengupayakan untuk mencari brand dengan nilai yang sejalan dengan apa yang kami anut guna menjadikan konsep kolaborasi lebih kuat.”

SAGE sendiri baru-baru ini mengadakan kolaborasi dengan Tehbotol Sosro, sebuah produk yang berasal dari industri berbeda. Tehbotol Sosro dinilai menjadi brand yang melegenda namun tetap bisa diterima oleh berbagai generasi. Dengan alasan tersebut SAGE merasa cross marketing yang dilaksanakan dengan Tehbotol tidak hanya bisa menjangkau pasar yang lebih luas tapi juga berbagi image agar brand sepatu ini dapat menjadi brand sebesar Tehbotol. Sejauh ini kolaborasi tersebut menghasilkan brand awareness yang tinggi. Pesan kebaikan dari brand SAGE sebagai brand sepatu yang mengusung sustainability terhitung cukup sukses tersebarluas. Dalam kolaborasi tersebut, SAGE mewarnai sepatu dengan ampas teh sehingga menghasilkan warna yang alami dan mengurangi polusi lingkungan. Sehingga tidak hanya logo Tehbotol saja yang dibubuhkan tetapi juga material bahan serta pesan kebaikan tentang alam yang dimiliki bersama. Bahkan karena kesuksesan volume pertama, volume kedua pun dilancarkan demi memenuhi permintaan konsumen yang tinggi.

Image courtesy of SAGE

Image courtesy of SAGE

Pengalaman yang mirip dialami juga oleh The Goods Dept. “Secara umum semua produk kolaborasi yang telah dieksekusi terhitung sukses. Seringnya, kolaborasi yang unexpected namun relevan adalah kolaborasi yang menuai hasil penjualan tinggi serta engagement di media sosial”, Anton menyatakan. Seperti ketika The Goods Dept berkolaborasi dengan Indomie yang mempunya nilai tinggi di budaya populer di Indonesia —bahkan dunia. Adalah sesuatu yang unexpected ketika kedua brand ini memutuskan untuk berkolaborasi. But, The Goods Dept is always about a celebration of creativity. Terutama ketika perayaan kreativitas itu bersama produk atau brand lokal. Kolaborasi The Goods Dept dan Indomie sangatlah melambangkan misi tersebut. Sehingga terjadilah inovasi yang menyatukan kedua brand dalam produk-produk kolaboratif. 

Tidak lain dengan kolaborasinya dengan produk Anggur Merah lansiran Orang Tua. Penjualannya sangatlah tinggi karena Anggur Merah ketika itu sedang menjadi tren. Orang Tua dikenal sebagai brand lokal Indonesia yang telah menjadi warisan dari generasi ke generasi. Walaupun begitu, produk ini ditemukan memiliki relevansi dengan anak muda. Begitu juga dengan brand Rumah Makan Sederhana, sandal Swallow dan bumbu penyedap Sasa. Jadi tidak heran kolaborasinya bersama The Goods Dept yang menciptakan pakaian serta tote bag laris di masyarakat. Lagi-lagi, sesuatu yang inovatif, kreatif dan bisa dibilang unexpected bisa memberikan gebrakan yang menguntungkan berbagai pihak. 

Previous
Previous

Mengenal Bisnis Keramik Buatan Tangan

Next
Next

Geometry Selects: Yang Alami Untuk Rambut