Decoding Gen Z: kalau bisa lowercase, kenapa harus kapital?
Bagi Gen Z, tidak menekan tombol "shift" saat mengetik bukan berarti mereka malas atau asal-asalan. Justru sebaliknya—itu adalah pilihan sadar. Di tengah dunia digital yang serba cepat dan penuh tekanan untuk tampil sempurna, mereka memilih huruf kecil sebagai bentuk ekspresi diri yang lebih jujur, intim, dan rendah hati. Fenomena ini bukan cuma perkara estetika, tapi pernyataan sikap terhadap cara mereka memandang komunikasi, identitas, dan struktur kekuasaan.
Di era di mana komunikasi banyak terjadi lewat layar ponsel, huruf kecil menawarkan nuansa yang lebih personal dan non-konfrontatif. Saat kapitalisasi bisa memberi kesan marah, serius, atau terlalu formal, huruf kecil justru seolah berbisik, “gue santai kok.” Dalam dunia yang penuh noise, Gen Z memilih gaya yang terdengar seperti bisikan, bukan teriakan. Mereka tumbuh dengan internet yang membentuk cara bicara dan menulis, dari meme, DM Instagram, hingga video TikTok berdurasi 15 detik. Mereka sadar bahwa cara menyampaikan sesuatu kadang lebih penting daripada isi pesannya sendiri.
Tren ini juga berakar dari sejarah panjang penolakan terhadap struktur otoritatif. Tokoh seperti e.e. cummings dan bell hooks telah lebih dulu menghapus kapitalisasi dari nama mereka, sebagai bentuk penolakan terhadap ego, kekuasaan, atau sistem patriarki. Kini, semangat itu hidup kembali dalam bentuk yang lebih kasual—dari bio TikTok tanpa kapitalisasi, email dengan salam “hai kak,” hingga caption IG yang semuanya lowercase. Ini adalah bentuk micro-rebellion yang tak membakar dunia, tapi cukup untuk menyampaikan pesan: “gue nggak tunduk sama aturan lama.”
Menariknya, estetika ini juga diadopsi oleh brand dan tokoh budaya pop. Billie Eilish menulis judul lagu dan albumnya dalam huruf kecil. Desainer muda dan brand fashion independen memilih huruf kecil sebagai identitas visual. Nama-nama seperti Spotify dan amika bahkan sejak awal tampil dengan huruf kecil sebagai strategi branding yang ingin terasa ramah, inklusif, dan tidak mengintimidasi. Di Indonesia pun mulai banyak brand yang sadar akan tren ini—menghindari huruf kapital di logo atau headline karena dianggap lebih “humble” dan approachable.
Namun, Gen Z bukan generasi yang kaku. Mereka fleksibel. Banyak dari mereka tetap menggunakan kapitalisasi dalam konteks profesional, akademik, atau saat mengirim CV. Bahkan di TikTok sempat viral tren “aku sekarang udah pake kapitalisasi lagi karena aku udah dewasa,” menunjukkan bahwa gaya menulis juga bisa berubah sesuai dengan fase hidup dan konteks sosial.
Bagi pelaku industri kreatif, tren ini adalah pengingat bahwa bahasa terus berevolusi dan cara berkomunikasi bisa mencerminkan nilai yang lebih dalam. Ini bukan soal benar atau salah, tapi soal koneksi. Mungkin sudah waktunya kita berhenti menganggap typo sebagai bentuk kemalasan, dan mulai melihat huruf kecil sebagai jendela ke cara berpikir generasi yang tumbuh dengan internet—santai, cair, dan penuh lapisan makna.