Produk Lokal “Dilokalin”, Apakah Dupe Culture Sudah Kebablasan?

Beberapa waktu lalu sebuah unggahan TikTok dari akun @_marcoraven ramai diperbincangkan setelah membahas isu brand pakaian KAHA yang dianggap membuat dupe (tiruan) produk Rumer Shirt dari Drunk Dad and Friends. Di tengah fenomena brand lokal yang kerap “melokalkan” produk luar, kini muncul polemik baru: brand lokal yang justru meniru brand lokal lainnya—menciptakan produk serupa dengan harga lebih murah.

Isu ini bermula saat KAHA mempromosikan produk bernama Kimmy, yang disebut-sebut sangat mirip dengan konsep Rumer Shirt milik Drunk Dad. Namun, sebagian warganet membalas bahwa Drunk Dad sendiri sebelumnya pernah membuat piano dress yang terinspirasi dari dress ikonik milik brand ternama Moschino.

Perdebatan pun mengemuka: apa sebenarnya yang etis dan tidak etis dalam industri pakaian? Apakah meniru desain dari brand besar atau luar negeri boleh-boleh saja? Bahkan ada yang menyebut bahwa industri fashion lokal kini berubah menjadi ajang cepat-cepatan menangkap tren desain, lalu membuat versi serupanya.

Brand Mahal, Dupe Culture pun Lahir

Membuat dupe dari brand internasional atau ternama tampaknya sah-sah saja di mata publik. Mengapa? Karena brand-brand mewah tersebut kerap kali tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Dengan semangat bahwa fashion adalah milik semua orang, muncul anggapan bahwa tak ada salahnya “meniru” atau “terinspirasi” dari brand besar, lalu menghadirkannya dalam bentuk yang lebih aksesibel.

Budaya dupe dalam fashion tumbuh karena harga barang branded yang semakin mahal. Dari sinilah muncul keinginan masyarakat untuk memiliki alternatif dengan desain serupa, tapi harga jauh lebih terjangkau. Ketika desain tersebut berasal dari luar negeri, produk dupe sering kali disebut sebagai “versi lokal” yang sudah “dilokalkan.”

Penting untuk membedakan antara barang tiruan dan barang KW. Dupe tidak menggunakan logo atau branding brand aslinya, dan umumnya tidak melanggar hak cipta. Banyak yang menganggap membeli dupe sama seperti membeli produk serupa, minus “pajak” dari logo branded yang menaikkan harga.

Harga yang lebih murah biasanya disebabkan oleh perbedaan bahan atau metode produksi. Namun, kini sudah banyak dupe yang diklaim memiliki kualitas setara dengan produk aslinya. Beberapa brand bahkan menghadirkan dupe dalam pilihan warna lebih variatif, serta menambahkan detail baru meski desain utamanya tetap sama.

Membeli Barang Tiruan Sudah Jadi Kebiasaan?

Seiring meningkatnya keinginan generasi muda untuk tampil otentik dan lepas dari ketergantungan terhadap branded goods demi tampilan quiet luxury, fenomena dupe pun semakin diterima. Survei di Amerika Serikat menunjukkan bahwa hampir 50% Gen Z dan 46% milenial pernah dengan sengaja membeli barang tiruan.

Stigma terhadap dupe juga mulai luntur. Survei di Inggris pada 2016 mencatat hanya 12% konsumen yang membeli barang dupe. Namun, pada survei yang sama tahun lalu, angkanya melonjak jadi 46%.

Media sosial berperan besar dalam mendorong tren ini. Paparan tren fashion yang cepat berubah memicu konsumen untuk mencari alternatif, sekaligus mendorong produsen agar ikut serta dalam budaya fast fashion, yang kemudian melahirkan subkultur dupe.

Kini, brand-brand bisa langsung melihat tren yang sedang viral, membaca permintaan pasar, lalu memproduksi versi serupa dalam waktu singkat dan menjualnya lewat toko-toko online.

Bahkan, banyak influencer fashion di media sosial yang membagikan “kesuksesan” mereka menemukan dupe atau “versi lokal”, serta merekomendasikan brand alternatif yang bisa mengakomodasi gaya quiet luxury dengan harga lebih bersahabat.

Dupe Tetap Dupe, dan Itu Bukan Pembenaran

Meski kini sudah menjadi tren dan diterima luas oleh publik, serta secara hukum tidak melanggar hak cipta, dupe culture tetap mencerminkan kesenjangan yang ada di masyarakat ketika membahas fashion dan industrinya.

Membuat dupe dari produk mana pun, dan dari brand mana pun, tetaplah tidak benar. Namun, jika masyarakat kelas menengah dan atas bisa menormalisasi tindakan brand lokal upscale yang meniru brand mewah luar negeri lalu merayakannya sebagai “versi lokal”, maka tak adil jika mereka mencaci brand kecil yang melakukan hal sama—menyediakan desain “elit” versi terjangkau untuk masyarakat luas.

Drunk Dad tidak benar saat membuat dupe gaun Moschino. KAHA juga salah ketika meniru Rumer Shirt milik Drunk Dad. Mereka yang membeli produk hasil tiruan itu, baik piano dress Drunk Dad maupun Kimmy dari KAHA, juga turut ambil bagian.

Dalam dunia ideal, semua brand menciptakan desain orisinal, dan konsumen menolak produk hasil tiruan. Tapi ini tampaknya bukan realita industri fashion saat ini. Cepat-cepatan menciptakan desain baru diikuti dengan cepat-cepatan menirunya.

Seperti kata salah satu cuitan netizen: Nanti kalau desainnya sudah dianggap biasa saja, orang-orang pun akan lupa siapa yang pertama kali membuat versi aslinya.

Previous
Previous

Sukses Menggelar Tur Dunia, Mampukah BABYMONSTER Menjadi Ikon Gen 5?

Next
Next

Dengan Kembalinya Keluarga Cemara, Teater Musikal Terus Menjadi Tempat Bonding Untuk Keluarga