Seblak Viral di Thailand: Kemenangan Kecil dalam Diplomasi Kuliner Indonesia

Baru-baru ini, kuliner khas Indonesia yaitu seblak mendadak viral di Thailand: influencer, artis, dan netizen Thailand ramai-ramai mencoba dan mem-viralkan seblak, mulai dari versi instan, mukbang, hingga review video.

Sekilas ini tampak seperti fenomena pop culture, tapi ini juga “tanda kecil” bahwa diplomasi kuliner Indonesia bisa punya impact nyata, meski masih sangat jauh dari ideal.

Seblak sendiri adalah makanan khas Jawa Barat (terutama Bandung) yaitu kerupuk basah dimasak dengan bumbu pedas dan ditambah berbagai topping.

Bahwa makanan ini bisa “menjalar” ke Thailand lewat video mukbang dan review kreatif, lalu diterima oleh publik Thailand, menunjukkan bahwa:

  • Identitas kuliner lokal bisa menemukan daya tarik audiens asing bila disajikan lewat medium konten digital.

  • Sensasi pedas, rempah, dan tekstur seblak punya “crossover appeal” ke lidah yang terbuka terhadap rasa baru.

  • Viralitas digital bisa menjadi pintu gerbang soft power kuliner.

Namun kemenangan kecil ini sekaligus menunjukkan bahwa diplomasi gastronomi kita masih sangat labil dan belum punya pondasi kokoh.

Fenomena seblak viral adalah titik awal; tantangannya justru ada setelah viral itu.

  1. Kurang sistematis & strategis

    Kita sering mengandalkan keberuntungan viral, bukan strategi terencana: promosi kuliner di luar negeri belum punya peta jalan jangka panjang.

  2. Stempel “kuliner Indonesia” belum didukung oleh brand experience lain

    Masyarakat luar negeri mungkin tahu rendang, nasi goreng, atau sekarang seblak. Tapi mereka jarang punya eksposur budaya yang menyeluruh (bahasa, film, musik, cerita) yang membentuk konteks.

  3. Ketergantungan pada konten organik & kreator luar negeri

    Seblak viral sebagian besar karena kreator Thailand yang mencoba makanan ini: kita sebagai negara asal belum “mengundang” atau mendampingi mereka secara strategis.

  4. Belum menjadi bagian dari ekosistem soft power yang lebih besar

    Kuliner sendirian tidak cukup. Kita butuh jembatan ke sektor kreatif lain supaya budaya tidak terkotak dan “dianggap hanya makanan.”

Kenapa Kuliner Butuh “Rekan Sejalan” dari Film, Musik, Animasi, dan Konten?

Kalau kuliner diisolasi sebagai produk rasa saja, ia akan terus menjadi “viral sementara” tanpa berkelanjutan. Untuk menjadikan gastronomi Indonesia sebagai soft power yang bertahan, kuliner harus digandeng dengan industri kreatif lain:

  • Film & series bisa menampilkan adegan di mana karakter makan seblak, mie ayam, gudeg, atau kuliner lokal lain sehingga menciptakan imaji budaya yang melekat di benak dunia.

  • Animasi / webtoon bisa mengeksplorasi cerita rakyat dan makanan khas, yang mengundang rasa penasaran audiens muda mancanegara.

  • Musik & lirik bisa menyisipkan referensi kuliner, menjadikan makanan bagian dari narasi kehidupan.

  • Konten kreator / TikTok / YouTube adalah ujung tombak: review kuliner, food travel series, kolaborasi kreatif. Kuliner yang viral biasanya karena seorang kreator visual + narator yang menghantar cerita rasa ke audiens digital.

Kalau saja seblak viral disertai oleh film pendek yang tokohnya memakan seblak sambil ngobrol soal budaya Indonesia, atau serial Netflix yang mempopulerkan street food Nusantara, efeknya bisa jadi jauh melebar dan bertahan lebih lama.

Refleksi & Arah Ke Depan

Viralnya seblak di Thailand adalah kemenangan kecil: bukti bahwa citarasa lokal bisa menembus batas bahasa dan negara bila disampaikannya lewat medium yang tepat. Tapi ia belum cukup sebagai soft power yang kokoh.

Kita masih butuh:

  • Strategi diplomasi kuliner jangka panjang seperti memastikan menu standar di restoran-restoran Indonesia di luar negeri, mengirim delegasi kuliner ke festival, mendampingi kreator asing, hingga memfasilitasi branding kuliner Indonesia di luar negeri.

  • Kolaborasi kreatif lintas industri agar kuliner tidak berdiri sendiri, tapi menjadi bagian dari narasi budaya Indonesia global.

  • Konten & storytelling sebagai bahan bakar: media hiburan, film, animasi, musik harus jadi pendukung agar citra kuliner bisa “melekat” dalam kultur populer internasional.

Kalau seblak bisa viral di Thailand lewat video mukbang, coba bayangkan dampaknya kalau kuliner Indonesia muncul konsisten di film, series, animasi, atau musik kita sendiri.

Lihat bagaimana Korea mengenalkan ramyeon lewat K-Drama, atau tteokbokki lewat novel dan film yang mendunia. Indonesia pun bisa melakukan hal yang sama: menjadikan makanan bukan sekadar tren sesaat, tapi bagian dari narasi budaya pop yang hidup.

Dengan begitu, kuliner kita nggak cuma hadir “di lidah orang asing”, tapi juga jadi bagian dari cerita global yang mereka konsumsi setiap hari.

Next
Next

Ketika Lembaga Keuangan Jadi Artsy: Kolaborasi Kejutan di Art Jakarta 2025