Band dengan Jutaan Stream di Spotify Ini Ternyata AI
Di dunia streaming musik yang makin padat dengan algoritma, kisah The Velvet Sundown menyorot realitas baru yang mengaburkan batas antara seni dan simulasi. Sekilas, mereka terdengar seperti band folk-rock sungguhan – punya dua album, satu hit viral berjudul “Dust on the Wind”, dan satu juta pendengar bulanan di Spotify. Tapi belakangan terungkap: semua itu dikendalikan sepenuhnya oleh AI.
Ya, The Velvet Sundown adalah proyek eksperimental buatan mesin. Tidak ada anggota band sungguhan, tidak ada kisah band indie yang naik dari bawah. Hanya kumpulan lirik, vokal, dan artwork yang dibuat oleh AI, lalu diunggah sebagai entitas musik yang utuh.
Dan mereka bukan satu-satunya. Berdasarkan data streaming platform Deezer, setidaknya 0.5% streams di platform mereka merupakan musik buatan AI. Selain The Velvet Sundown, masih banyak lagi musisi AI seperti Aventhis, Aven, Nick Hustles, The Smoothies, dan lain sebagainya.
Ketika Musik Tak Lagi Dibuat oleh Manusia
Dalam beberapa bulan terakhir, platform seperti Spotify dan Deezer diserbu puluhan ribu lagu buatan AI—banyak di antaranya menggunakan bot farm untuk memalsukan angka streaming. Di satu sisi, ini membuka wacana tentang masa depan kreativitas. Tapi di sisi lain, muncul pertanyaan besar soal transparansi, etika, dan nilai artistik.
Beberapa musisi independen bahkan melaporkan lagu mereka diturunkan oleh platform karena dicurigai menggunakan manipulasi streaming—ironisnya, tanpa penjelasan yang memadai, sementara proyek AI seperti Velvet Sundown lolos tanpa hambatan.
Label “AI-Generated” Harus Jadi Standar
Para pelaku industri seperti Ivors Academy dan BPI (British Phonographic Industry) menuntut adanya regulasi yang jelas. Konten yang dibuat sepenuhnya oleh AI harus diberi label, seperti halnya kita menandai makanan hasil rekayasa genetika. Ini bukan soal melarang inovasi, tapi soal memberi konsumen informasi jujur.
Langkah ini penting karena musik bukan sekadar angka di dashboard. Musik punya relasi emosional dengan pendengarnya. Dan jika “band” yang kamu dengar ternyata tidak punya pengalaman manusia di baliknya, tidakkah itu jadi bentuk pemalsuan pengalaman?
Kreativitas vs. Kuantitas
Teknologi bisa memperluas batas seni jika digunakan sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti total. Tapi ketika industri streaming mengutamakan volume dan virality, kita berisiko kehilangan ruang untuk karya orisinal, yang dibuat dengan niat dan pengalaman manusia.
Dalam konteks ini, kasus Velvet Sundown bukan cuma soal “band AI.” Ini tentang bagaimana nilai-nilai artistik diuji oleh sistem yang lebih peduli pada data daripada makna.
Lalu Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kita tidak sedang melawan AI. Tapi kita perlu menuntut:
Transparansi label di semua platform musik.
Sistem moderasi yang adil dan akuntabel bagi musisi independen.
Regulasi yang melindungi hak cipta kreator manusia.
Pendekatan kurasi yang menempatkan kualitas dan makna di atas statistik.
Karena kalau tidak, ekosistem musik akan semakin dipenuhi oleh “ghost bands” atau entitas tanpa wajah, tanpa cerita, tanpa akar. Dan yang akan dirugikan bukan hanya musisi, tapi juga kita sebagai pendengar yang ingin merasa terhubung, bukan tertipu.
The Velvet Sundown adalah sinyal bahaya, dan mungkin, momen reflektif bagi seluruh ekosistem kreatif digital: bahwa orisinalitas dan keterlibatan manusia masih punya nilai, bahkan di dunia yang makin canggih.